Posts

“Pak BeGo’g”

Image
Oleh: Syaiful Bahri A khirnya niatku untuk bisa berbincang dan berbicara dengannya kesampaian. Selama ini aku hanya bisa melihat senyum dan tawanya saja ketika kami saling berpapasan di jalan. Kalau kuhitung,  pertemuan-pertemuan itu sudah berulang kali dan bahkan udah tahunan. Aku memiliki kesan yang sangat kuat kepadanya, dalam beberapa pekan terakhir aku memang berharap bisa duduk dan berbincang-bincang dengannya. Dia bukan seorang pejabat, bukan pula seorang pegawai atau karyawan kantoran. Dia bukan tokoh masyarakat, bukan juga seorang alim ulama. Atau pemilik perusahaan dan rumah mewah. Dia hanya seorang lalaki paru baya, yang memiliki banyak kerutan di wajahnya. Perawakannya yang kecil, kurus dan urat-urat tubuh yang menonjol dengan kulit yang mulai berkerut menyusut. Tapi tampak kuat seperti tulang besi otot kawat. Tubuhnya sering berpeluh penuh keringat dan berkilat. Namanya pak Bego’g, itupun aku baru tahu ketika aku menanyakannya semalam. “BeGo’g atau

“Tulisan adalah Jejak Sejarah”

Image
Oleh: Syaiful Bahri S uka share status? Memang sudah dipikir saat buat status? senang ya kalau ada yang like, lalu koment-koment gitu. Lucunya lagi pake ngelike status sendiri. Pake yang pertama lagi. Hehe… Ia sih.. enggak ada yang ngelarang kita membuat status apapun di media social. Pokoknya asick aja gitu. Walaupun itu sering nyebelin. Sebel, ngeliat dan baca status yang alay dan ngeluh terus. Ada juga tuh, status yang marah-marah. Tahu tuh, lagi di php in ama si doi, lalu buat status, “ngambek”  “ih, dia nyebelin deh.”  “Awas loo ya, bukan au aja pacar gue.” Bla…bla….bla…… Hehe…. Aneh-aneh dan lucu. Eh, banyak yang like juga tuh. Memang dipikirin, klik..klik. Hemm….apapun yang dipikirkan dan dituliskan itu hak pribadi. Sah-sah saja. Nulisnya di akun sendiri. Yang sebel biarin aja deh. Kalau mau ngelike silahkan, yang mau koment ayok…. Terserah ama penilaiannya masing-masing. Tapi tahukah kamu, di zaman serba digital dan canggih saat sekarang i

“Penjual Balon Naik Pesawat”

Image
Oleh: Syaiful Bahri E nggak pernah ngimpi, apalagi ngebayangin punya keinginan untuk naik pesawat. Buat mikirin biaya sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari aja, perlu ekstra kerja keras. Beruntung pergaulan luas, banyak orang yang mempercayainya untuk mengageni tanah dan rumah untuk dijualkan. Hanya sekali-kali keberuntungan kepadanya, kebanyakan kecewanya. Ngejalanin hudup sebagai penjual balon menjadi pekerjaan sehari-harinya. Suatu kali, Ia bercerita dengan sumringah kepadaku. Ada kegembiraan yang sangat terpancar diwajahnya. Wajah polosnya tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. “Kemaren, Aku baru balek dari Jakarta. Naik Pesawat, Pulang pergi dibayarin,” katanya kepadaku. “Oh, Ya. Kapan berangkatnya? Ada keperluan apa di sana?” tanyaku dengan  mata yang sedikit membesar. “Hanya sehari saja disana, bersama kawan yang minta ditemani untuk mengurus keperluannya di Jakarta, seminggu yang lalu,” jawabnya sambil tersenyum. Selanjutnya, ia bercerita t

“Kisah Pak Minung”

Image
Oleh: Syaiful Bahri U dah dua hari ini Pak Minung terlihat bersedih. Setiap pagi ia duduk di depan rumahnya. Tatapan matanya selalu kosong. Di atas dipan bamboo yang ada dipojok rumahnya, ia sering duduk sendirian. Tak ada asap rokok yang biasanya terlihat mengepul keluar dari mulutnya. Kopi dan gorengan pisang yang masih hangat tak lagi menemaninya. Ia sangat gelisah. Enggak bisa tenang dalam duduknya. Ia seperti orang yang sedang berpikir keras, mencari-cari atau menyesali sesuatu. Tapi ia selalu mengakhiri dengan elusan tangan lembut didadanya. Seolah menenangkan dirinya sendiri untuk bersabar. Ketika menjelang siang, saat putrinya akan berangkat pergi kesekolah. Anaknya merengek untuk minta diantarkan ke sekolah. Jarak sekolahnya dengan rumah sekitar 4 kilometer. Biasanya Pak Minung selalu senang hati mengantar anak-anaknya ke sekolah. Diantara putrinya, Iyas yang masih duduk di kelas 4 SD selalu ia antar. Pak Minung memang selalu berusaha untuk mengantar jemput anaknya

“Ketika Hidup Semakin Berat”

Image
Oleh: Syaiful Bahri C obaan kok enggak ada habis-habisnya ya. Baru aja kemaren BBM naik. Gaji enggak cukup buat nutupin hutang. Eh, malah kena surat peringatan.karena ikutan demo. Lamar kerja kesana-kemari belum ada panggilan.  Anak pada minta dibeliin sepatu bola. Yang gede minta dibeliin laptop. Ampek Samsung, android, smartphooone…. Duh…, Belum bini yang udah pada uring-uringan dengan uang belanja yang habis. Suami selingkuh. Anak-anak terjerat narkoba. Tagihan kredit datang terus. Penyakit enggak sembuh-sembuh.  Pusing kepala. Rasanya mau pecah. Udah hampir putus asa aja jadinya. Hah, sesak nafas. Mau mati aja dibuatnya. Kok jadi begini ya hidup. Musibah terus menerus menimpa. Percuma sholat terus, tapi hidup enggak pernah senang. Susaaahh…..melulu. Di ujiii….. terus. Capek, Ah. Tuhan memang tidak adil. Duh, keluhannya semakin panjang. Berentet, berekor, enggak putus-putus. Pake nyalahin Tuhan enggak adil. Hidup memang penuh dengan ujian. Dari satu masalah ke masalah yang

“Bicara Pada Langit III”

Image
(Duh... Tuhan, Kuatkan aku) Syaiful Bahri Malam semakin tinggi. Udara terasa dingin. Kakiku tidak mampu untuk berdiri. Sajadah merahku basah. Geliat malam membawa orang pada mimpi-mimpinya. Entah mengapa aku teringat istriku yang setahun lalu meninggalkanku dalam kesedihan bersama dua anak kami. Wajah lembut dan berseri itu. Kini membayangi lintasan hatiku. Mungkinkah itu sebabnya dia datang melihat aku. Tidak! Tidak! Aku tidak boleh pergi. Anak-anakku masih kecil. Mereka pasti sangat membutuhkan seorang ayah. Sejak umminya tidak ada. Mereka kehilangan kasih sayang. Mereka butuh perhatian. Masa-masa mereka sangat membutuhkan kehadiranku, ayahnya. Ah, biar..biar..tinggalkan abang disini aja dik. Tinggalkan abang bersama anak-anak. Mereka pasti sangat membutuhkan abang. Jika waktunya nanti tiba. Insyaallah, kita juga akan bertemu. Mudah-mudahan kita bisa mewarisi anak-anak yang akan mendoakan kita. Malam makin larut.wajah itu makin jelas dihadapanku. Aku tersenyum m

"Bicara Pada langit II"

Image
(Doa-doa terus kupanjatkan) Syaiful Bahri T iba-tiba aku merasakan tubuhku bergetar. Keheningan malam yang semakin sunyi menggoncang segala rasaku. Seperti ada komunikasi yang berlangsung antara aku dan sosok wanita yang tidak asing lagi bagiku. “Sudahlah, anak-anak tidak usah diikutkan.Mereka semua sehat, dalam keadaan baik”, bisik batinku pada bayangan itu. Aku melihat bibirnya tersenyum. Aneh pikirku. Aku ini sebenarnya ada dimana? Aku enggak mengerti ada dinding antara kami, tapi seakan tidak berbatas. Sementara itu,  diluar, aku mendengar suara burung malam yang mengusik heningku. Bukankah ini hanya mimpi. Tapi mengapa tubuhku bergetar dan basah, seolah semua ini nyata. Hek…hek..hek…aku kenapa? Mengapa aku menangis. Kemana semua orang itu? Dian, Eko, Ade, kalian ada dimana? Kemana abah dan emak kalian? Dimana Dinda? Mengapa bangunan ini bisa rubuh? Kenapa orang-orang itu semua seperti berlari ketakutan? Apa yang terjadi? “Ayah….ayah….ayah….” Hah, buka