“Kisah Pak Minung”
Oleh:
Syaiful Bahri
Udah
dua hari ini Pak Minung terlihat bersedih. Setiap pagi ia duduk di depan
rumahnya. Tatapan matanya selalu kosong. Di atas dipan bamboo yang ada dipojok
rumahnya, ia sering duduk sendirian. Tak ada asap rokok yang biasanya terlihat
mengepul keluar dari mulutnya. Kopi dan gorengan pisang yang masih hangat tak
lagi menemaninya. Ia sangat gelisah. Enggak bisa tenang dalam duduknya. Ia
seperti orang yang sedang berpikir keras, mencari-cari atau menyesali sesuatu. Tapi
ia selalu mengakhiri dengan elusan tangan lembut didadanya. Seolah menenangkan
dirinya sendiri untuk bersabar.
Ketika menjelang siang, saat putrinya akan berangkat
pergi kesekolah. Anaknya merengek untuk minta diantarkan ke sekolah. Jarak sekolahnya
dengan rumah sekitar 4 kilometer. Biasanya Pak Minung selalu senang hati
mengantar anak-anaknya ke sekolah. Diantara putrinya, Iyas yang masih duduk di
kelas 4 SD selalu ia antar. Pak Minung memang selalu berusaha untuk mengantar
jemput anaknya ke sekolah. Tapi siang hari ini ia nampak gelisah sekali.
Melihat wajah anaknya yang terus merengek, Pak
Minung tak sampai hati. Ia engkol keretanya
dan menstarternya. Drum…drum…..bunyi suara kereta tuanya.
“Ayo! Kita berangkat.”
Dengan wajah sumringah, Iyas naik di atas jok
belakang dan merangkul perut bapaknya.
Selang beberapa menit kemudian. Pak Minung sudah
sampai di sekolah. Iyas mencium tangan bapaknya sembari berpesan untuk kembali
menjemput dirinya sepulang sekolah. Pak Minung hanya bisa membalas dengan senyuman
kepada sang anak yang disayanginya.
Pak minung berputar aluan, segera di gas keretanya
menuju arah pulang. Tapi tiba-tiba keretanya berjalan lambat dan berhenti.
Pak Minung bingung, apa yang terjadi. Kenapa
tiba-tiba keretanya berhenti di tengah jalan. Ia coba kembali mengengkol
keretanya. Tapi tak mau hidup lagi. Kemudia ia membuka jok bangkunya. Ah,.. ia
sangat gusar. Tangki minyaknya kosong.
Pak Minung terlihat melihat ke kanan dan ke kiri.
Sejurus pandangan matanya menatap ke depan. Jauh di ujung jalan, perjalanannya
pulang ke rumah masih sangat jauh. Siang itu sangat panas tidak seperti
hari-hari biasanya. Kenderaan yang melaju pun sangat padat. Kulit tangan dan
wajahnya mulai berkeringat, mengkilap-kilap terkena panas cahaya matahari.
Tidak jauh dari tempat ia berhenti ada pom bensin.
Tapi ia ragu untuk membawa keretanya kesana. Ia masih kelihatan gusar. Sambil
memukul-mukul jok tempat duduk keretanya.
Pada saat itu, ia berjumpa dengan tetangganya yang
sedang menjemput anaknya pulang sekolah. Dari dalam mobilnya, ia menegur Pak Minung dan bertanya.
“Keretanya kenapa Pak Minung?”
Pak Minung sepontan menoleh dengan menjawab lemah,
“Kehabisan bensin.”
Wajah Pak Minung terlihat gelisah, ia sangat lelah.
Tetangga Pak Minung merasa iba melihatnya. Tapi ia masih harus menunggu
anaknya. Ia hanya berkata kepada Pak Minung.
“Pom bensinnya
hampir dekat kok pak. Pak Minung harus mendorongnya dulu sementara
kesana.”
Pak Minung hanya bisa tersenyum, dan menganggukkan
kepala.
Di siang hari itu, ditengah teriknya panas matahari.
Pak Minung mendorong keretanya. Tapi ada yang aneh ketika ia sampai di pom
bensin. Ia tidak segera membelokkan keretanya ke sana. Ia hanya bisa menoleh ke
arah pom bensin itu. Terihat hanya ada 2 atau 3 kereta saja yang sedang mengisi
BBM di sana. Tapi mengapa Pak Minung tidak membelokkan keretanya dan mengisi
tangki minyak keretanya? Ia justru mendorong keretanya terus meninggalkan pom
bensin itu.
Hal itu terlihat oleh tetangga Pak Minung yang
kebetulan ada di belakangnya. Tetangga yang bertemu dengan Pak Minung tadi,
saat menjemput anaknya di sekolah. Tetangga itu menjadi heran. Kenapa Pak Minung
masih mendorong keretanya, padahal pom bensin sudah didekatnya. Apakah ada
kerusakan lain dikeretanya?
Tetangga Pak Minung pun memperlambat laju mobilnya.
Dan kembali menegur Pak Minung.
“Pak, Pak Minung. Kenapa tidak mengisi minyak di pom
bensin itu? Bukankah minyak kereta Pak Minung habis. Apakah keretanya rusak?”
Mendengar suara yang memanggil namanya itu, Pak
Minung menoleh. Ia melihat tetangganya di sisi kanannya berteriak, memanggilnya
dari dalam mobil. Pak Minung hanya bisa melihat tetangganya tersebut. Dan
menggelengkan kepalanya. Dengan sedikit wajah yang agak sedih walau berusaha
ditutupinya.
“Saya tidak punya uang untuk membelinya,” Kata Pak Minung
pelan dengan suara parau.
Tetangganya
tersebut seketika berubah wajahnya. Ia merasa kasihan melihat Pak Minung.
Selama ini ia bertetangga dan berteman baik dengan Pak Minung. Tapi sedikitpun
Pak Minung tidak pernah berkeluh kesah dengan kondisi ekonomi dan keadaan
keluarganya. Ia sangat tahu Pak Minung orang yang sangat menjaga harga diri dan
kehormatannya. Ia tidak mau meminta-minta. Sampai-sampai ia harus rela
berpanas-panas untuk mendorong keretanya.
Mungkinkah itu yang membuat Pak Minung terlihat
bersedih selama dua hari ini. Kenaikan harga BBM bagi Pak Minung dan keluarganya
sungguh sangat memukul. Pak Minung hanya seorang pemungut barang bekas. Tak
banyak yang bisa ia lakukan ditengah harga kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Kecuali hanya melakukan penghematan dan ikat pinggang ditengah persaingan para
pengumpul barang bekas lainnya.
Mungkinkah masih banyak Pak Minung - Pak Minung
lainnya yang bernasih sama di negeri ini. Ataukah Pak Minung seorang diri yang
pandai menjaga harga diri dan kehormatan dirinya dari berkeluh kesah. Hingga
tak mau ikut-ikutan antri dengan ragam jenis kartu sakti. Atau Pak Minung tak
pernah terdaftar dalam data orang-orang yang berhak mendapatkan kartu-kartu
sakti.
Hah…cerita Pak Minung dalam kisah ini, hanya
imajinasi anak negeri.
Hihihi…..cobalah untuk direnungi.
By: Syaiful Bahri
Suara Menara Qalbu (SMQ) – 26
November 2014