“Corona dan Negeri Tak Bertuhan”


By: Syaiful Bahri


Konon ceritanya, setiap 100 tahun sekali muncul  wabah yang mematikan. Penyakit pembunuh yang menyeramkan menyerang manusia tanpa pandang buluh. Pembunuh yang tidak kenal kompromi kepada siapa pun. Pembunuh yang tidak mau tawar menawar. Apalagi suap menyuap dengan dollar dan nilai mata uang negeri mana pun.

Wabah pembunuh itu muncul tiba-tiba. Ia wabah penyakit menular yang bergerak sangat cepat. Secepat kilat menyambar. Tidak terlihat dan tertangkap oleh mata. Bentuknya tidak dikenali, sangat buruk rupa. Orang menyebutnya dengan virus.

Katanya, seratus tahun yang lalu seorang petapa sakti berkaca mata pernah melihatnya. Seketika kesaktiannya menghilang. Petapa sakti tersebut sangat terkejut karena ia merasakan tubuhnya menjadi lemah. Tongkatnya jatuh dan terlepas dari genggamannya. Kakinya gemetar tak kuat menopang tubuh gendutnya. Kedua matanya seolah hendak keluar dari kelopaknya. Wajahnya pucat, mulutnya menganga seolah ingin teriak histeris. Konon petapa sakti itu lumpuh sesaat. Keterkejutan yang luar biasa membuatnya tidak berdaya.

Petapa sakti tersebut lama tidak bergerak. Jiwanya tidak selamat. Tubuhnya tiba-tiba mengeras seperti batu. Hingga suatu hari tubuh itu ditemukan oleh seorang pengelana dan mempostingnya di sosial media. Sejak itu polemik mulai terjadi ada yang like, emosi ketawa  sedih,marah, juga emosi penuh kecintaan. Tidak tahu semua itu ditujukan kepada siapa. Apakah kepada si Pengelana atau kepada si Petapa Sakti yang tubuhnya membatu dan berlumut itu.

Sejak itu wajah bumi mulai berubah. Orang-orang yang mendiami bumi di seluruh dunia  saling salah menyalahkan, tuding menuding, bertengkar satu dengan yang lain. Saling curiga dan kehilangan keyakinan.

Manusia bumi kehilangan kepercayaan. Orang-orang mulai berlomba, masing-masing ingin menjadi pemenang dalam perlombaan. Manusia mulai egois, mementingkan dirinya sendiri. Mereka menjadi makhluk individu yang berlindung dengan tekhnologi ciptaannya. Mereka mulai tidak mempercayai adanya Tuhan.

Manusia tidak menyadari di suatu termpat yang paling tersembunyi. Ada makhluk lain yang senantiasa mengawasi. Mengintai ruang gerak dan waktunya manusia. Makhluk itu bermutasi secara perlahan. Berbaur dalam tubuh makhluk lainnya yang ada di bumi. Meminjam tubuh mereka dan berkembang biak. Hingga waktunya makhluk itu bersiap untuk menyerang.

Tiba-tiba seluruh dunia terkejut. Ada serangan musuh yang tidak terlihat. Kecanggihan tekhnologi manusia tidak mampu menahan ruang gerak musuh tersembunyi itu. Alat- alat canggih mereka tidak mampu mendeteksi tempat musuh itu berada, tidak tahu kapan musuh itu akan menyerang. Orang-orang panik dan ketakutan. Tapi musuh tak kasat mata itu, terus menyerang, mengambil nyawa-nyawa manusia.

Korban terus bertambah. Banyak negeri sunyi dan sepi. Mereka bersembunyi di rumah-rumah. Tapi saling tuding dan salah menyalahkan masih terjadi. Mereka berusaha keras untuk melawan musuh itu. Mereka mengerahkan segala macam cara untuk melawannya. Membendung gerakannya. Manusia mulai menyadari mereka harus bersatu.

Manusia mulai merindukan kebersamaan. Tapi mereka cemas dan takut. Mereka saling menjaga jarak dan melindungi dirinya. Membatasi interaksi antara satu dengan yang lain. Hanya satu tekhnologi tersisa. Media sosial, tempat mereka mencaci maki, memuji dan mencari simpati. Berbagi empati dan pencitraan diri. Tempat mencurahkan isi hati. Bisa juga sarana saling ingat mengingati dan menasehati.

Tapi musuh tidak memberi ampun. Musuh menjadi wabah  menular yang sangat cepat. Orang dicegah untuk berkumpul, bekerja, belajar dan beribadah dalam ruangan yang membuat mereka saling berdekatan. Sehingga sekolah-sekolah diliburkan, orang-orang dianjurkan untuk bekerja dari rumah saja. Mereka dihimbau agar beribadah di rumahnya masing-masing. Dan belajar dari rumah. Banyak yang mengeluh, bersedih, kecewa, juga marah.

Setelah sekian waktu, manusia bergelut dan berlomba cepat melawan musuh itu. Manusia menyadari bahwa mereka lemah. Se power apapun negeri mereka. Sekuat apapun daya tahan tubuh mereka. Manusia memang tidak berdaya. Mereka merindukan berjemaah di masjid-masjid, di gereja-gereja, kuil dan wihara. Untuk kembali bersujud, menundukkan kepala. Dan berkata;

“Tuhan...memang engkau yang Maha Perkasa, Engkau Maha Kuasa, kami tidak berdaya, segera akhiri wabah ini Tuhan. Ia juga makhlukMU seperti kami, Kami ingin berdamai”

Apakah musuh itu makhluk yang bernama Corona?


Suara Menara Qalbu (SMQ)
26 Maret 2020/Syaiful Bahri





Popular posts from this blog

“Kata Sambutan Ngunduh Mantu dari pihak Wanita”

Kata Pembuka dan Sambutan dari Pihak Wanita Saat Menerima Lamaran

“Asal Mula Nama Kue Bohong