“Bicara Pada Langit III”
(Duh... Tuhan, Kuatkan aku)
Syaiful Bahri
Malam semakin tinggi. Udara terasa dingin. Kakiku
tidak mampu untuk berdiri. Sajadah merahku basah. Geliat malam membawa orang
pada mimpi-mimpinya. Entah mengapa aku teringat istriku yang setahun lalu
meninggalkanku dalam kesedihan bersama dua anak kami. Wajah lembut dan berseri
itu. Kini membayangi lintasan hatiku. Mungkinkah itu sebabnya dia datang
melihat aku.
Tidak! Tidak! Aku tidak boleh pergi. Anak-anakku
masih kecil. Mereka pasti sangat membutuhkan seorang ayah. Sejak umminya tidak
ada. Mereka kehilangan kasih sayang. Mereka butuh perhatian. Masa-masa mereka
sangat membutuhkan kehadiranku, ayahnya.
Ah, biar..biar..tinggalkan abang disini aja dik.
Tinggalkan abang bersama anak-anak. Mereka pasti sangat membutuhkan abang. Jika
waktunya nanti tiba. Insyaallah, kita juga akan bertemu. Mudah-mudahan kita
bisa mewarisi anak-anak yang akan mendoakan kita.
Malam makin larut.wajah itu makin jelas dihadapanku.
Aku tersenyum meyakinkan diri bahwa aku sangat menyayanginya. Itu aku katakan
kepadanya. Kami paham, mata kami, hati kami, bisa merasakannya. Alamku sudah
berbeda dengan alamnya. Tapi hati kami seakan masih menyatu. Benih-benih cinta
itu tidak akan pernah hilang dari hatiku.
Aku berjanji akan menjaga buah hati kami. Yah,
anak-anak kami. Bukankah cita-cita kami dulu selalu sama. Impian kami satu.
Semua demi anak-anak. Untuk anak-anak. Anak-anak yang sholeh, cerdas, pandai,
mengerti dan tahu silaturahmi. Pandai membawa diri dan selalu memberi. Saling
sayang menyayangi dan berbakti.
Harapan itu harapan kita. Harapan semua orang tua
yang memiliki anak. Bukankah itu tujuan pernikahan. Rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. Tentram, damai dan penuh limpahan rahmat dalam
mengarunginya.
Cita-cita kita dik, ada pada anak-anak kita. Benar,
dik. Mereka lahir dari rahim seorang ummi yang sholeh. Wanita yang baik dari
benih turunan yang baik. Dan ayah mereka sama, ummi mereka yang pertama. Ah,
indahnya kenangan itu.
Semakin larut khayalanku kemasa lalu. ketika kami
satu kuliah. Saat pertama aku mengenal gadis berjilbab seperti dia. Baginya aku
yang pertama. Uh, memang aku laki-laki yang paling beruntung sedunia. Coba
bayangkan disaat zaman sekarang seperti ini. Dimana pergaulan bebas dan
suka-suka menjangkiti generasi dan kawula mudanya. Aku menemukan mutiara yang paling indah. Selama hidupku.Haa…sungguh
beruntung sekali aku. Ternyata doaku yang kumaklumatkan saat remaja dulu telah
terijabah. Didengar dan dikabulkan oleh Tuhan. Tapi itu sungguh perjuangan yang
cukup panjang.
Untuk mendapatkan orang yang terbaik dan pelengkap
hidup kita. Kita juga harus menjadi yang terbaik. Aku ingat kalau Tuhan pernah
berkata.
“Ingat, kalian laki-laki ynag baik akan mendapatkan
wanita-wanita yang baik dan kalian laki-laki yang buruk akan mendapatkan
wanita-wanita yang buruk”.
Nah, jadilah aku dengan gadis berjilbab itu. Dia
gadis yang baik dan aku..eh…ingat kata Tuhan diatas itu. Waduh senang dan
bahagianya hatiku. Kami bahagia dan dia memiliki kemanjaan yang membahagiakan
diriku.
Tuhan….kenapa aku? Aku tidak bisa melupakan dia.
Janganlah Engkau marah padaku. Jangan tinggalkan aku. Aku ikhlas sekejap
kebahagiaan yang kau berikan padaku saat bersama dengan dia. Adalah kenikmatan
terindah yang aku rasakan.
Aku, dia dan anak-anak kami adalah kehendakMu.
Takdir kami telah engkau tetapkan. Lahir, hidup dan mati adalah sesuatu yang
pasti. Engkau khabari kami dengan berita-beritaMu dari para nabi. Aku ikhlas,
aku ridho. Aku ingin syurgaMu. Syurga untuknya.
Nafasku tersengal. Dadaku sesak. Seperti ada
bongkahan batu besar yang menimpaku. Air mataku tidak tertahan lagi. Malam
semakin larut. Suara dengkuran orang yang tidur disampingku semakin simpang siur. Dengan irama dengkuran
yang tidak menentu. Irama yang sengaja tidak diciptakan. Namun selalu mengikuti
kemana nafas kita. Selagi hidup kita akan selalu berusaha untuk menciptakan
irama yang indah. Dalam kesadaran kita dan rencana kita. Tapi bukankah kata
orang bijak. Tuhan juga punya rencana untuk kita?
Nafasku semakin panjang. Malam semakin dingin. Dalam
simpuhku di sajadah merah. Doa-doa terus aku panjatkan.
catatanku : Juni 2006