“Pak BeGo’g”
Oleh:
Syaiful Bahri
Akhirnya
niatku untuk bisa berbincang dan berbicara dengannya kesampaian. Selama ini aku
hanya bisa melihat senyum dan tawanya saja ketika kami saling berpapasan di
jalan. Kalau kuhitung,
pertemuan-pertemuan itu sudah berulang kali dan bahkan udah tahunan. Aku
memiliki kesan yang sangat kuat kepadanya, dalam beberapa pekan terakhir aku
memang berharap bisa duduk dan berbincang-bincang dengannya.
Dia bukan seorang pejabat, bukan pula seorang
pegawai atau karyawan kantoran. Dia bukan tokoh masyarakat, bukan juga seorang
alim ulama. Atau pemilik perusahaan dan rumah mewah. Dia hanya seorang lalaki
paru baya, yang memiliki banyak kerutan di wajahnya.
Perawakannya yang kecil, kurus dan urat-urat tubuh
yang menonjol dengan kulit yang mulai berkerut menyusut. Tapi tampak kuat
seperti tulang besi otot kawat. Tubuhnya sering berpeluh penuh keringat dan
berkilat.
Namanya pak Bego’g, itupun aku baru tahu ketika aku
menanyakannya semalam.
“BeGo’g atau Ngadino,” katanya penuh senyum.
Bagiku pak BeGo’g ini adalah laki-laki istimewa yang
luar biasa.
Bapak dengan tiga orang anak ini adalah seorang
pekerja keras. Ia lakukan pekerjaan apapun hampir –hampir tak mengenal hari.
Pekerjaan sehari-harinya adalah pekerja bangunan. Kadang aku melihat ia memecah
batu, menggali tanah dan mengaduk semen. Sekali waktu aku melihatnya di atas
genting rumah.
Yang paling membuat pak BeGo’g istimewa di mataku
adalah, hampir setiap pagi ia terlihat mengayuh sepedanya mengantar anak-anaknya
ke sekolah.
Ia pun membuat aku terkejut dan salut. Pasalnya di
pagi yang sama ia bisa mengantar ke dua anaknya ke sekolah bersepeda dengan
arah dan jarak yang berbeda.
“Jam 6.15 aku sudah berangkat mengantar abangnya
yang duduk di kelas dua SMK ke sekolah, di Namira. Siap mengantar
abangnya, anakku yang ke tiga perempuan
sudah bersiap dan kuantarkan ke sekolahnya di Nurcahaya, dia kelas dua SMP.”
“Kalau kakaknya sekarang sudah bekerja, ada tawaran
kuliah untuknya, tapi ia mikir tentang biaya buku-buku dan keperluan lainnya. Ia
pun menundanya,” cerita pak BeGo’g kepadaku.
“Aku sayang sekali kepada anak-anakku, mereka
patuh-patuh”
Pak BeGo’g juga bercerita kalau ia selalu menunda
untuk merantau jika ada pekerjaan di luar kota, karena ia kasihan sama
anak-anaknya. Ia sangat sayang sekali dan memperhatikan anaknya. Istrinya yang
hanya seorang pembantu, cuci nggosok, sekarang ini sudah kelihatan sering cepat
sekali capek dan lelahnya.
“Aku yakin anak-anakku akan sukses,” terangnya penuh optimis.
“Mereka
patuh-patuh dan aku bangga. Dulu saat anakku yang sulung itu menjadi juara 1 di
sekolahnya saat di SMP, ia mendapat piagam dari sekolahnya.” katanya bangga dan terlihat sangat bahagia.
“Salut ya?’ tanyaknya balik kepadaku dan terlihat
beberapa giginya yang sudah tanggal.
Aku tersenyum dan sesekali menepuk-nepuk halus kaki
dan mengelus pundaknya. Aku salut karena tak ada orang tua yang seperti dirinya
di saat sekarang ini. Aku salut kepada anak-anaknya yang tidak malu-malu di bonceng dan diantar bapaknya
dengan sepeda hijau tua. Yang sesekali bunyi berdenyit dalam kayuhannya. Aku
salut dan bangga kepadanya karena tulus mencintai buah hatinya dalam serba
kekurangannya. Aku salut dan bangga kepadanya juga terbesit malu kepadanya.
“Anak-anakku tidak malu. Malah kawan-kawannya yang
setiap hari melihat terheran-heran diam tak bicara.”
“Bersepeda juga itu sehat, baik buat jantungku” katanya tertawa halus.
“Hanya sesekali mereka menonton televisi, selebihnya
meraka belajar”
“Bila aku marah kepada mereka, aku lihat saja dan
mengangkat tunjuk tanganku, mereka sudah tahu.”
“Insyaallah pak, semoga anak-anak bapak menjadi
anak-anak yang sukses dan baik” ucapku kepadanya, ditengah-tengah takjiah malam
ke tiga di rumah abang iparku yang orang tuanya meninggal dua hari lalu.
Takjiahpun selesai. Kamipun saling bersalaman.
Kubagikan cerita pak BeGo’g lewat tulisan ini
ditengah kedukaan yang menyelimuti.
By: Syaiful
Bahri
Suara Menara
Qalbu – 11 Desember 2014