"Mengasah Hati Seorang Pemimpin"
Oleh: Syaiful
Bahri
Pernah aku
mendengar sebuah kisah yang diceritakan kepadaku, tentang kisah
Khalifah Umar bin Khatab. Suatu ketika khalifah Umar ingin mengetahui
bagaimana keadaan rakyat yang dipimpinnya. Apakah semua rakyatnya
sejahtera, tidak kelaparan dan bisa tidur nyenyak. Maka berangkatlah
sang khalifah keliling desa memantau keadaan rakyatnya bersama salah
seorang sahabatnya di waktu malam. Ketika sampai disuatu tempat,
khalifah Umar mendengar suara tangis seorang anak disebuah rumah
gubuk.
Mendengar
suara tangisan yang memilukan dari seorang anak kecil. Sang Khalifah
pun mendekati rumah gubuk itu. Khalifah Umar mengetuk pintu dan
mengucapkan salam. Dari dalam gubuk terdengar suara langkah mendekat
membuka pintu dan menjawab salam sang Khalifah. Terlihat oleh
Khalifah seorang wanita separuh baya dengan raut wajah yang
berkeringat. Kelihatan wajah yang lusu seakan sedang menanggung beban
yang berat.
Dengan
santun sang Khalifah bertanya, “Maaf ibu, mengapa anak ibu
menangis?” tanya Khalifah Umar dengan suara lembut.
Wanita
separuh baya ini tidak mengenali kalau orang yang bertanya kepadanya
adalah Khalifah Umar bin Khatab. Dengan sedikit perasaan yang ditekan
ibu itu menjawab,
“Anak-anak
saya menangis karena mereka sedang kelaparan dan menunggu masakan
yang sedang saya masak,” jawab sang ibu.
Lalu si ibu
meninggalkan begitu saja sang Khalifah. Ia sibuk dengan masakannya.
Mengaduk-ngaduknya. Dan mempertahankan apinya agar tetap terus
menyala. Sementara itu sang Khalifah bersama sahabatnya menunggu
diluar gubuk.
Selang
beberapa lama menunggu, Khalifah Umar masih terus mendengar suara
tangis anak-anak si ibu. Hatinya tidak tahan mendengar suara tangisan
yang terus menerus itu. lalu sang Khalifah mencoba kembali mendekati
sang ibu dan bertanya kepadanya. Mengapa lama sekali masakan itu
masak? Fikir sang Khalifah.
“Maaf ibu,
kalau saya boleh tahu masakan apakah yang sedang ibu masak buat
anak-anak ibu itu?” tanya Khalifah Umar dengan sedikit penasaran.
Dengan
sedikit acuh. Sang ibu menjawab pertanyaan Khalifah.
“Lihat
saja sendiri!” katanya dengan nada suara yang tinggi.
Khalifah
Umar sangat terkejut ketika ia melihat di tungku perapian, di atas
sebuah kuali, di dalamnya sang ibu sedang merebus batu-batu kerikil.
Sang Khalifah geram dan ingin mencoba marah tapi ia menahannya.
Kemudian ia kembali bertanya kepada sang ibu.
“Kenapa
ibu merebus batu-batu itu di dalam kuali?”
“Saya
melakukannya karena tidak lagi memiliki persediaan makanan di dalam
rumah. Saya sengaja memasak batu-batu itu untuk menghibur hati
anak-anak saya. Hingga mereka tertidur. Tapi karena rasa lapar yang
tidak tertahan. Mereka menangis terus menerus,” jawab sang ibu.
Kemudian
sang ibu melanjutkan kata-katanya, “Ini semua karena Khalifah Umar
tidak memperhatikan rakyatnya dengan baik. Ia tidak layak dan tak
pantas menjadi seorang Pemimpin,” kata sang ibu dengan nada marah.
Mendengar
kata-kata sang ibu. Sahabat yang bersama sang Khalifah ingin
menegurnya. Tapi ditahan oleh Khalifah Umar. Ia pun pergi
meninggalkan ibu itu. sembari marah dengan dirinya sendiri dan
menyesalinya. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi.
Hingga kisah
ini berakhir diceritakan kepadaku. Sang Khalifah Umar malam itu juga
memikul sendiri makanan dan kebutuhan untuk sang ibu dan keluarganya.
Karena ia merasa bertanggung jawab atas hal itu. Ia sangat takut
kepada Allah bila nanti ditanyakan kepadanya bagaimana nasib rakyat
yang dipimpinnya.
*
Mendengar
kisah itu, aku mencoba untuk merenunginya. Pelajaran apa yang bisa
aku dapatkan dari seorang Umar bin Khatab. Dalam literature Islam,
Umar bin Khatab adalah Khalifah ke dua setelah Abu bakar Siddiq,
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, dalam menjalankan roda kekhalifahan
di dunia islam. Khalifah Umar dikenal dengan keberanian dan
ketegasannya. Tapi di satu sisi Khalifah Umar adalah sosok seorang
Khalifah yang mudah tersentuh hatinya. Ia tidak akan pernah
membiarkan ketidak adilan dihadapannya.
Sosok-sosok
Umar bin Khatab inilah yang saat sekarang ini sedang ditunggu-tunggu.
Bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki hati yang peka. Ia mau
mendengar, melihat dan bertindak. Dan mengakui kesalahannya. Ia hanya
takut kepada Allah. Kepada Tuhan yang diyakininya.
Seorang
pemimpin tidak akan pernah bisa tidur nyenyak sebelum melihat
rakyatnya tidur tanpa kelaparan dan rasa takut.
Seorang
pemimpin akan selalu risau dan memikirkan nasib rakyatnya di
sepanjang waktu. Di saat yang lain sedang istirahat dan tertidur ia
terus bekerja. Tak memikirkan apakah yang dilakukannya dilihat
rakyatnya atau tidak.
Seorang
pemimpin tidak mengharapkan pujian dari rakyatnya. Ia hanya
memikirkan untuk mensejahterakan nasib rakyatnya.
Seorang
pemimpin tidak mengambil dari rakyatnya. Tapi ia memikul tanggung
jawabnya sendiri. Ia akan merasakan bahagia bila rakyatnya terpenuhi
kebutuhan hidupnya dan bisa hidup sejahtera.
Sikap-sikap
seperti itulah yang diperlukan bagi seorang pemimpin. Pemimpin bisa
dekat dengan rakyat yang dipimpinya. Seorang pemimpin tahu
kebutuhan-kebutuhan rakyat yang dipimpinnya dan memenuhinya.
Seorang
pemimpin tidak akan pernah marah bila dikritik bahkan dicela oleh
rakyatnya.
Seorang
pemimpin akan semakin terasah hatinya, bila mampu merasakan apa yang
dirasakan oleh rakyatnya. Karena seorang pemimpin tidak akan pernah
membiarkan seorang rakyatnya pun menderita.
Wassalam.
Baca Juga: BERBAGI 1 MILIAR
Syaiful
Bahri
Suara Menara
Qalbu
Mengasah
Hati dan Empati – Teruslah Belajar dan Tetaplah Tersenyum
Medan, 21
January 2017