“Salah Kaprah”
Oleh: Syaiful Bahri
Kalau sudah omongin anak, maunya sih
berbangga-banggaan. Mulai dari kebisaan-nya apa? Sampai, apa yang sudah
dimiliki dan di punyai si anak? Orang tua selalu merasa ingin tahu apa saja
tentang anaknya, itu bagi orang tua yang sangat peduli terhadap anaknya. Sampai
hal-hal yang terkecil pun ia perhatikan. Namun ada juga sebagian orang tua yang
cuek saja tentang anaknya. Ia tidak mau tahu urusan si anak, apa yang
dilakukannya, kemana perginya, siapa teman-temannya. Ia tidak peduli. Anak
diberikan kebebasan. Memilih jalannya sendiri tanpa harus dibimbingnya. Toh,
anakkan sudah besar dan dewasa, katanya
.
Lain pula
dengan cerita yang penulis dengar dari salah seorang satpam yang tiba-tiba
menghampiri tempat duduk penulis disebuah kantin di kantornya bekerja. Kebetulan penulis sedang menjumpai seorang
teman dan memiliki keperluan terhadapnya.
penulis mendengar pak satpam tersebut bercerita tentang anak-anaknya.
Ada raut kesedihan dan rasa sesal di wajahnya. Tiba-tiba ia bercerita kepada
penulis tentang kesalahannya dalam mendidik sang anak. Berulang kali ia
mengucapkan kata “Salah kaprah” pasalnya ia selalu membela anak-anaknya di
hadapan sang istri. Tidak ada kesamaan mereka dalam mendidik anak-anaknya.
Sikapnya yang demikian senantiasa diprotes oleh sang istri, katanya ia terlalu
memanjakan anak-anaknya.
Belakangan
setelah anak-anaknya tumbuh dan berkembang ia baru merasakan dampak dari
didikannya tersebut. Sikapnya selama ini yang selalu membela anak-anaknya
dihadapan sang istri mulai ia rasakan. Kini ia mengeluh dengan sikap
anak-anaknya yang tidak mandiri. Sulit baginya meminta bantuan segera
anak-anaknya walau katanya sang anak sudah duduk dibangku kuliah, tapi
anak-anaknya suka sekali membantah dirinya dan menolak setiap kali ia meminta
untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah demikian sang istri hanya bisa
menyindirnya, “itulah bapak, rasakanlah sendiri. Terlalu membela anak dan
memanjakannya” ucap sang istri setiap kali.
Ada banyak
hal yang membuat pak satpam bersedih dan menyesali pola asuh yang selama ini ia
terapkan dalam mendidik anak-anaknya. Dengan nada lesu dan kecewa ia
mengatakan, “Sudah salah kaprah, aku
akui aku sudah salah dalam mendidik anak-anakku,” ucapnya lirih kepada penulis.
Tak mau
melihat wajahnya yang bersedih, penulis mencoba untuk memberi saran kepadanya.
Mengingat ia selalu merasa dipojokkan oleh sang istri ketika mendapati
anak-anaknya yang tidak menurut dan patuh kepadanya. Agar ia menjalin
komunikasi yang baik dengan istrinya, tidak ada kata yang terlambat, mulailah
dari diri mereka sendiri untuk memiliki kesepahaman dalam bersikap dan
mengambil keputusan menyangkut kebutuhan anak-anaknya, apa yang boleh dan apa
yang dilarang untuk dilakukan, hendaknya mereka saling mendukung dengan
keputusan mereka. Berbicaralah dengan sang istri, akui kesalahannya selama ini.
mintalah sang istri untuk mengerti bahwa persoalan yang mereka hadapi harus
dihadapi bersama. Tidak lagi saling menyalahkan. Bak seorang psikolog penulis
mencoba mendengarkan dan berempati kepada pak satpam dan mencoba sedikit
memberikan solusi yang akhirnya membuat segaris senyum dibibirnya.
“Berdoalah
pak, semoga anak-anak bapak dan keluarga bapak senantiasa diberikan kebaikan”
ucap penulis sambil meminta izin untuk meninggalkannya karena ada keperluan
yang lain.
Tak ada
istilah terlambat ketika kita mau terus berbuat untuk kualitas hidup yang lebih
baik.
Semoga. J
Suara Menara
Qalbu (SMQ) : 5/3/2016