“Menjadi Suami Palsu”

Oleh: Syaiful Bahri

Sudah cukup lama aku enggak menulis. Pikiranku kering dari ide dan inspirasi. Aku pun sedang malas mencari-carinya. Waktu pun berlalu begitu saja. Enggak ada satu kata pun yang aku tulis. Tulisan ini terinspirasi dari peristiwa yang baru saja aku alami. Enggak mau lama memendamnya. Aku memaksa membuang malasku untuk mulai mengetiknya. Untungnya laptopku sedari tadi sudah aktif dengan lagu-lagu islami yang aku putar sebagai penyejuk hati.

Habis menyantap sebungkus sate padang yang aku beli tadi. Aku bergegas mengambil air wudhuk untuk sholat isya. Dua hari ini badanku kurang enak, aku inginnya yang aneh-aneh, mulai dari ingin makan bakso, sampai makan rujak. Sampai aku harus keluar rumah sendiri membeli sate padang yang biasa mangkal disimpang jalan dekat swalayan surya itu

Selepas sholat isya di dalam kamarku. Aku mengaktifkan laptop dan memutar lagu-lagu islami kesukaanku. Sambil baringan ditempat tidur aku mendengarkannya. Tiba-tiba saja aku mendengar suara langkah kecil yang menaiki atas tangga. Dan mengetuk kamarku sambil berbisik pelan memanggil-manggil “Palek…Palek…ada bu Ning mencari palek.”

Sekali saja aku cukup menyahut. Kemudian diam. Hingga berulangkali suara itu memanggil-manggilku. Aku mencoba untuk tidak mendengarnya. Aku berpikir-pikir apa keperluan bu Ning mencari aku. Seingat aku, semua urusan dengannya udah kelar. Jadi, mengapa bu Ning malam-malam ini mencari aku? Aku diam saja mencoba pura-pura tertidur pulas hingga suara Dinda menghilang dan langkahnya menjauh menuruni anak tangga. Aku sedikit tenang tapi tiba-tiba saja suara yang lebih besar dari bawah terdengar memanggil-manggil aku.

“Omm…Om..Omm Ipul!” teriak suara seorang wanita dengan agak sedikit keras dari bawah tangga memanggilku. Itu suara bu Ning, aku enggak tega membiarkannya lama memanggilku. Segera aku bangkit dan turun ke bawah, sementara Bu Ning sudah menungguku di bawah anak tangga  dan langsung menghadangku dengan wajah murung dan berharap sekali bantuanku.
Dengan wajah yang sedikit mengantuk aku mencoba tersenyum dan menyapanya. Dan menanyakan keperluannya. Walaupun tanpa sempat aku menanyakannya. Ia sudah bercerita tentang masalah yang sedang ia hadapi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan mengaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.

“Omm..bantu aku ya, pura-pura menjadi suami Ning. Tolonglah, Omm…” rengeknya kepadaku sambil melipat-lipat jibabnya yang menjulur menutupi dadanya.

Aku nyaris tak bersuara. Kantukku langsung hilang. Walau belum begitu memahami apa masalah yang sedang ia hadapi. Ia bercerita tentang dirinya yang ber-sms-an dengan mantan pacar lamanya yang kini sudah menjadi suami orang. SMS itu diketahui dan dibaca oleh istrinya karena di dalamnya ada memakai kata-kata mesra dengan menggunakan kata-kata Yang atau sayang. Sang istri menjadi cemburu dan curiga, serta marah ketika mengetahuinya. Ia meminta klarifikasi kepada bu Ning. Walaupun sudah dijelaskan bahwa ia tidak memiliki hubungan apapun dengan suaminya. Kata-kata itu hanyalah kata-kata biasa yang ia gunakan dalam hubungannya dengan orang lain yang curhat kepadanya.

Namun sang istri tidak mempercayainya. Ia meminta agar Bu Ning membawa suaminya datang ke rumahnya untuk membuktikan ucapannya itu. Karena Bu Ning merasa tidak ada hubungan apa-apa dengan suaminya yang mantan pacarnya dulu itu. ia menyanggupi permintaan sang istri dari mantan pacarnya tersebut. Nah, sampai disinilah masalahnya timbul sampai-sampai aku harus dilibatkan dalam peristiwa ini. weleh-weleh-weleh…ada-ada aja pun omak-omak ini.

Sambil menggaruk-garuk kepala aku mikir. Apakah aku memenuhi permintaannya untuk pura-pura menjadi suaminya dihadapan  istri sang mantan pacarnya. Apakah tidak akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Aku juga tidak tega melihat wajah manisnya yang  tampak gusar  dan takut. Karena kalau suami benarnya yang diajak pastilah akan terjadi perang besar antara dirinya dan suaminya. Dari pengakuannya sendiri ia berbicara jujur tidak ada hubungan apa-apa dengan mantan pacarnya itu. Jadi aku tidak perlu khawatir akan terjadi apa-apa, lagian aku hanya dimintanya untuk menjelaskan saja bahwa ia biasa berbicara dan ber sms dengan kata-kata  mesra dengan siapapun.  Aku sebagai suami palsunya sudah mengetahui kebiasaannya itu.

Sekali lagi aku meyakinkan, apakah orang yang akan dijumpai tidak mengenal aku? Ia menjawab tidak. Aku sempat mengkhawatirkannya, karena orang yang akan kami jumpai masih dalam satu kelurahan dan tidak jauh tempat tinggalnya. Ia pun bercerita bahwa istri mantan pacarnya ini juga belum pernah tahu dan mengenal suami aslinya, begitupun dengan  keluarga mantan pacarnya belum pernah tahu suami bu Ning yang sebenarnya. Maka dengan tidak menunggu lama sehabis kompromi dengan keluarga yang mendengar hal ini, aku pun berangkat dengan tidak ketinggalan memakai jaket hitamku bersama bu Ning ke rumah sang mantan pacarnya.

Kudengar sepanjang perjalanan bu Ning terus mengucap istighfar. Ia tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. tapi karena ia merasa tidak ada melakukan apa-apa, ia berani menghadapinya. Hingga sampailah kami berdua di halaman depan rumahnya. Aku hanya diam dan mulai berperan sebagai seorang suami dari bu Ning. Sedangkan ia sudah memanggilku dengan sebutan, ‘Yah’ kepadaku, Hehehe…. Akupun sedikit memasang wajah dingin. Bersikap sedikit acuh sambil memperhatikan sekeliling. Ternyata di dalam rumah sudah menunggu seorang laki-laki dan wanita yang berkulit putih. Suasana agak sepi dan lengang.

Aku pun mulai benar-benar berperan menjadi suami palsu bagi bu Ning. Ketika kulihat seorang wanita muda berkulit putih memanggil suaminya dari dalam kamar dengan menggandeng anaknya yang kecil. Kami duduk di ruang tamu dengan suasana yang agak sedikit lengang. Sang istri mulai membuka pembicaraan sambil mengangkat dan memegang Hp di tangannya. Aku perhatikan matanya mulai memerah, ia sudah begitu lama menahan air matanya untuk tidak jatuh lagi. Raut wajahnya terlihat sangat sedih menceritakan persoalan SMS yang ada di Hp suaminya. Ada kata- kata mesra dan sayang di dalamnya. Itu yang membuatnya menjadi risau. Untungnya nada suaranya lembut dan tidak pakai marah-marah. Jadi suasana menjadi dingin karena kami semua yang ada di ruang tamu tidak perlu pakai ribut-ribut.

 Ditengah-tengah kami pun sudah ada abang ipar sang istri yang duduk bersama kami. Bicaranya juga tidak panjang ia hanya bermaksud untuk menjadi penengah bagi kami. Aku pura-pura sedikit marah kepada istri palsuku dan memintanya untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Begitu juga kepada suami istri itu jangan lagi mengulanginya. Aku enggak tega melihat raut wajah istrinya yang tampak sangat sedih dan terpukul sekali dengan ulah suaminya itu. Aku juga mengingatkan bahwa kebiasaan istri palsuku itu sudah aku ketahui karena kami biasa selalu berbicara jujur dan saling percaya tentang apapun. Jadi aku sebagai suami palsunya mempercayai istriku (Aslinya juga begitu). Eh, sang istri dari mantan pacar bu ning itu menimpali, “Tidak seperti kami, katanya. Apalagi pakai kata-kata ‘Yang’ itu enggak pernah.”

Mendengar itu aku menjadi sedih dan prihatin, ada rasa iba dihatiku melihatnya. Aneh jika  pasangan suami istri tidak memiliki rasa saling percaya apalagi kasih sayang. Walau dalam hatiku pun merasa bersalah telah membohonginya menjadi suami palsu bu Ning. Tapi semua ini aku lakukan untuk kebaikan keluarga ini juga. Dan aku percaya kepada bu ning yang sudah kuanggap sebagai kemanakanku sendiri, ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Sampai akhirnya aku pun berpamitan. Karena aku melihat sang istri yang cemburu dan curiga dengan suaminya itu sudah mulai tampak tenang atas kehadiranku sebagai suami palsunya bu Ning. Kurang lebih 15 menit aku menjadi suami palsunya bu Ning di ruang tamu itu. Sebutan Yah, dan Bu sempat terdengar saat kami saling berbicara. Aku sedikit lega karena suasananya menjadi tampak baik. Dalam hati aku mendoakan semoga pasangan suami istri itu akan menjadi pasangan yang lebih baik dan saling berkasih sayang. Sambil mataku memandang mata bulat gadis kecilnya yang melekat di apit kedua kaki sang bapak yang lebih banyak diam. J

Hem…asem…asemm….Menjadi suami istri itu harus saling percaya, saling berkata jujur, banyakin berkomunikasi dengan istri maupun ama suami, jadi tidak ada saling curiga. Yang terpenting harus  saling  pengertian dan berkasing sayang. Tul enggak…..?

Lagian….jangan suka terlalu mengobral kata-kata mesra ya, di media apapun kepada siapapun. Entar masalahnya bisa jadi seperti bu Ning ini nih. Repotkan jadinya. Cukuplah kata-kata mesra buat istri atau suami sendiri aja. Apalagi ama mantan Pacar, jangan ya?!

Jangan mau ya jadi suami palsu atau istri palsu. Kalau ketahuan ama yang asli?! Ayoooo…..bakalan berantam loohhh habis-habisan.

Jujur aja deh. Lurus-lurus aja Jangan coba-coba main-main api. Entar kalau udah terbakar……hangus deh semua. Jadi debu. Kasihan tuh ama anak-anak. J

Baca juga: Kisah Cek 100 Juta

Wassalam
Syaiful Bahri
Suara Menara Qalbu (SMQ)  Selasa,5/12/2015




Popular posts from this blog

“Kata Sambutan Ngunduh Mantu dari pihak Wanita”

Kata Pembuka dan Sambutan dari Pihak Wanita Saat Menerima Lamaran

“Asal Mula Nama Kue Bohong