“Kisah Cek 100 Juta”

Oleh: Syaiful Bahri

“Dik!..,Dik….!! Ambillah ini untukmu. Bukalah setelah usai sholat jumat nanti,” kata seorang laki-laki tidak dikenal tiba-tiba menghampiriku, saat duduk usai berzikir di dalam masjid. Lelaki itu memberi amplop putih yang terekat sangat rapi. Wajahnya bersih, matanya teduh, Ia tersenyum menatap kepadaku sambil menyodorkan amplop itu. Aku terkejut mendengar ucapannya. Ia datang tiba-tiba. Aku juga tidak mengenalnya. Usai memberikan amplop, Ia berjalan mengisi shap yang masih kosong ditengah-tengah ruangan masjid.

Aku yang keheranan tak sempat lagi berkata. Mataku hanya menatap punggungnya saat ia berjalan. Ucapan terima kasih pun tak sempat terlontar dari mulutku. Aku memandang aneh dengan perasaan yang masih sedikit bingung. Siapa orang itu? mengapa tiba-tiba datang dan memberikan amplop kepadaku. Ia sempat berkata sebelum meninggalkanku, “Kamu bisa menggunakkannya untuk keperluan  memenuhi kebutuhanmu.” Aku jadi bertanya-tanya apa isi amplop putih ini. Aku  penasaran. Tapi aku teringat pesan  orang tersebut untuk tidak membukanya  setelah sholat jumat usai.

Aku pun tak mau memikirkannya lagi. Amplop putih itu kulipat dan kumasukkan ke saku bajuku. Aku meneruskan zikirku. Sesaat kemudian azan berkumandang.
Usai sholat Jumat, Aku tidak sabar lagi,  ingin tahu apa isi amplop putih itu. Aku melihat dan mencari-cari orang yang memberikan amplop tersebut. Tapi orang itu sudah tidak terlihat diantara kerumunan para jemaah sholat jumat. Di sebuah tiang  masjid, aku duduk  menyandarkan punggungku. Tanganku mengambil amplop itu dari dalam saku bajuku. Aku coba memperhatikannya sejenak, Tak ada sedikitpun bayangan yang tembus dari isi dalamnya.  Amplop itu terekat sangat rapi. Tipis, tampak tak ada isi.

Tiba-tiba aku merasakan jantungku sedikit berdebar-debar saat membuka amplop tersebut. Aku menjadi penasaran apa isi di dalam amplop putih itu. Apakah orang itu hanya ingin mempermainkan aku? Kurobek pelan-pelan kertas yang merekat pada amplop itu. Kuselipkan jari-jariku untuk membukanya. Aku mengintipnya. Kedua jari tanganku membuka amplop putih itu lebar-lebar. Ada selembar kertas di dalamnya. Aku tidak tahu kertas apa itu. Mirip seperti selembar kertas kwitansi. Aku melihat sejumlah angka tertulis di kertas itu Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Tanganku tiba-tiba gemetar. Detak jantungku berdegup sangat kencang. Nafasku naik turun seperti habis berlari. Mataku liar mencari-cari orang yang memberikan amplop tadi. Tapi tidak tampak lagi. Aku sungguh tidak mempercayai apa yang aku lihat. Amplop putih itu berisikan selembar Cek, senilai 100 juta rupiah.

Berkali-kali aku melihat dan membaca tulisan di Cek itu. Kugeleng-gelengkan kepalaku. Kucubit kulit tanganku. Apakah aku tidak sedang bermimpi? Mungkin orang itu telah salah memberikan amplop ini kepadaku. Atau apakah malaikat yang sedang menyamar dan menjadi seorang manusia? Mengapa ia datang kepadaku? Ah, tubuhku menjadi gemetar. Ini sebuah karunia ataukah musibah kepadaku? Apa yang harus aku lakukan dengan Cek ini? apakah Cek ini benar?

Aku memasukkan kembali Cek 100 juta rupiah tersebut ke dalam amplop. Aku melipatnya, dengan sangat hati-hati sekali. Aku masukkan ke kantong celanaku, dan berjalan pergi meninggalkan masjid. Pikiranku dipenuhi tanda tanya, ada sedikit kegembiraan. Apakah ini yang dinamakan dengan rezeki yang tidak disangka-sangka? Aku pergi mencari Bank, seperti nama Bank yang tertulis di Cek. Aku mencoba untuk mencari tahu kebenaran isi Cek, sekaligus terpikir untuk mengambil dan mencairkannya. Aku disambut oleh kasir Bank dengan senyum ramah. Saat aku bertanya dan menunjukkan Cek itu,. si Kasir sedikit mengernyitkan dahinya menatapku. Kemudian ia tersenyum dan mempersilahkan aku sesaat untuk menunggu. Tidak lama kemudian di depanku ada puluhan ikat uang ratusan ribu berwarna merah dan lima puluhan ribu berwarna biru di atas meja kasir. Aku diminta untuk menghitungnya. Cek itu mencair menjadi uang yang bertumpuk-tumpuk di depan mataku, 100 juta rupiah.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, Aku melihat uang sebanyak itu di depan mataku. Aku tidak tahu itu uang dari mana. Namun yang aku ingat, Cek itu telah diberikan kepadaku oleh orang yang tidak aku kenal di dalam masjid. Uang itu menjadi milikku. Sekarang aku punya uang 100 juta rupiah. Aku bisa memakainya buat apa saja, seperti yang dibilang oleh si pemberi amplop. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada si kasir yang cantik itu dan tersenyum saat meninggalkannya. Sambil berjalan aku mengeluarkan uang lima puluhan ribu senilai dua juta rupiah. Uang itu akan aku berikan kepada orang yang pertama kali aku jumpai setelah keluar dari Bank. Orang yang pantas untuk menerimanya.

Di saat bersamaan seorang Penarik becak dayung baru saja menurunkan penumpangnya. Ia memutar balik becaknya lewat di depanku. Sesaat aku dan si penarik becak bertatapan.
 “Pak, tunggu!” Teriakku menghentikan si penarik becak yang badannya sedikit kurus dengan raut wajah berkeringat. Ia memakai Lobe putih sebagai penutup kepalanya. Ia lelaki setengah baya yang kutaksir usianya sekitar 50-an tahun. Lelaki itu pun segera menghentikan kayuhannya. Aku sempat berpikir masih ada orang yang menarik becak dengan mengayuhnya. Sementara sekarang ini, hampir semua becak adalah becak bermesin.

“Maaf, Pak! Apakah hari ini hari Jumat?” tanyaku seperti orang yang kelupaan.
“Ia,” jawab lelaki itu sambil menganggukkan kepalanya. Dan menyeka keringat yang keluar diwajahnya dengan handuk kecilnya.
Aku mengggaruk-garuk kepala seperti orang yang benar-benar tidak ingat kalau hari Jumat.
“Jadi, bapak tadi sholat Jumat? Dimana?”
“Ia, di sana. Masjid di simpang tiga yang sedikit masuk ke dalam itu,” tunjukknya memperhatikanku keheranan.
“Ohh, iya. Ini pak ada sedikit rezeki buat bapak.”
“Eh, apa ini?” tanya si bapak terkejut dan melongo ketika ditangannya sudah kupegangkan uang 2 juta yang sudah kupersiapkan tadi.
Aku tersenyum dan tertawa melihatnya. “Untuk bapak, ibu dan anak-anak di rumah. Barangkali bapak membutuhkannya.” Kataku, meninggalkannya pergi dengan mulut yang masih menganga, kebingungan.
Hemm….mau kuapakan lagi uang ini ya? Gumamku pergi.

Ada kebahagiaan di hatiku ketika memberi uang tersebut kepada orang yang pantas untuk menerimanya. Aku berjalan sambil tersenyum. Kuambil kereta tuaku, kuengkol. Uang puluhan juta di dalam amplop  kubungkus plastic hitam, kuikatkan di samping gantungan kereta. Aku pergi meninggalkan halaman Bank. Aku teringat kepada seseorang yang sedang membutuhkan sejumlah uang buat membayar uang kuliahnya. Aku pergi mencarinya. Namun belum lagi aku jauh pergi dari Bank itu. Dipinggir jalan ada kerumunan orang-orang sedang berkumpul. Seorang wanita dengan dua orang anaknya sedang menangis histeris. Pasalnya Ia baru saja kecopetan. Dompet beserta uangnya hilang di bawa si pencopet. Kulihat anak-anaknya yang masih kecil itu, juga turut menangis.

“Ada apa Bu?” Tanyaku sambil memperhatikan kedua anaknya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri banyak deretan toko mas. Sambil menunjuk ke salah satu toko. Ia mengatakan, “Saya baru saja dari toko itu menjual emas, buat biaya bapak anak-anak yang sedang opname di rumah sakit. Saat saya memeriksa dompet setelah melewati kerumunan orang-orang yang ada di pasar itu. Dompet serta uang 8 juta rupiah semuanya hilang.” Aku tertegun mendengar ceritanya. Kucoba untuk mencari kebenaran dari cerita ibu itu bertanya kepada penjual toko mas, apakah benar ada seorang ibu dengan dua orang anaknya baru saja menjual emas di tokonya. Si penjual toko mengangguk membenarkannya.

“Bu, ambillah ini buat biaya berobat suami ibu. Mudah-mudahan bisa membantu,” kataku sambil memberikannya uang 10 juta rupiah. Si ibu terperangah tidak percaya, sambil sedikit terisak ia menggeleng, “Uang apa?” tanyanya sedikit tidak mempercayainya. Aku mencoba tersenyum,”Sudahlah Bu, jangan bersedih lagi! Ini sudah kehendak Allah. Ini rezeki ibu dan bapak anak-anak. Semoga suami ibu cepat sembuh.” Kataku sambil memberikan uang itu kepadanya.

Aku sangat lega, perasaanku sangat bahagia bisa membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Aku melanjutkan perjalananku. Mencari kawanku di tempatnya biasa mangkal berjualan pulsa.
“Kamu harus selesaikan kuliahmu, bukankah kamu sudah tingkat akhir. Sebentar lagi wisuda. Gunakan uang ini untuk membayar semua tunggakan uang kuliahmu! ucapku menepuk pundak sahabatku itu. Kamu tidak usah memikirkannya! Ambillah uang ini! kataku sambil menyerahkan uang 10 juta rupiah kepadanya. Gunakan sisanya buat biaya wisudamu. Semoga kamu sukses.” Ia hanya bisa menatapku dengan mata berbinar-binar. Aku tersenyum melihatnya.
“Oh, iya. Aku juga titip uang 10 juta ini kepadamu. Buat sahabat kita yang lain bila membutuhkan uang buat membayar kekurangan uang kuliah. Aku tahu dan bisa merasakan perasaan teman-teman saat mau ujian tapi belum bisa melunasi biaya kuliah. Sampaikan salamku buat mereka.”

Aku bahagia sekali melihatnya tersenyum saat pergi meninggalkannya. Semoga rezeki yang aku dapatkan bisa juga mereka rasakan. Mereka para penuntut ilmu sangat membutuhkan biaya untuk studynya. Agar mereka juga bisa tenang dalam belajar mencapai cita-citanya.

Aku terus berjalan, duduk di atas kereta tuaku. Melihat orang-orang di pasar, Anak-anak para pelajar pulang sekolah. Para pekerja bangunan di atas ruko-ruko bertingkat. Dan deretan mobil-mobil mewah diperkantoran. Serta para pedagang kaki lima yang tergusur. Juga para supir angkot yang berhenti sembarangan menaik turunkan penumpang. Dan orang-orang yang membunyikan klakson kenderaannnya di jalan yang sedang macat. Atau pelanggar lalu lintas di lampu merah. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Apa yang mereka cari? Mengapa mereka tidak bisa bersabar memberikan kesempatan bagi yang lainnya terlebih dahulu.

Aku berhenti di sebuah pasar. Aku mencari-cari sahabatku yang biasanya ada mangkal di situ. Aku mampir. Ia bejualan tidak seperti biasanya. Wajahnya sedikit murung. Dagangannyapun sepi.
“Hah, mengapa kok sedih sekali nampaknya?” tanyaku menegurnya.
“Enggak apa-apa biasa aja,” jawabnya dengan nada lemah. Aku sudah tahu kebiasaan sahabatku ini. jika ia ada kesulitan ia selalu diam tidak pernah mau bercerita.
“Bagaimana dengan anak-anak, lancar sekolahnya?” tanyaku lagi sambil memperhatikan wajahnya. Ia sejenak  terdiam. Tampak kerutan di wajahnya.
“Inilah..mereka sedang membutuhkan biaya buat bayar uang sekolah dan kuliahnya. Ditambah dengan kebutuhan lainnya,” jawabnya pelan.
Hemm…aku mengerti sahabatku ini sedang banyak pikiran.
“Bagaimana dagangannya? Kulihat makin bertambah barangnya?” tanyaku memastikan dan melihat barang-barangnya yang sudah Nampak mulai berkurang.
“Hehe….apanya yang bertambah. Modal aja sudah tidak ada. Habis terpakai buat kebutuhan lainnya,” ujarnya menampik perkataanku dengan tertawa halus.
“Oh, ya aku ada uang ini. mau buat nambah modal usaha?”
“Kalau dikasih ya mau ajalah!” jawabnya lemah tersenyum.
“Ini. Uang 8 juta rupiah buat nambah modal usaha. Dan 5 juta buat biaya sekolah anak-anak.”
Aku menyodorkan uang 13 juta kepadanya. Ia terkejut menggaruk-garukkan kepalanya. Seolah tidak percaya. Ia ragu menerimanya.
“Bagaimana aku membayarnya. Kamu main-main saja ah,..!”
“Ambillah uang ini. aku memberikannya! Kamu tidak perlu membayarnya!” jawabku dengan tegas menatapnya. Ia sedikit ragu namun menerimanya. Tampak wajahnya berseri-seri.
Aku bersegera pamit meninggalkannya. Hatiku bertambah bahagia melihat wajah sahabatku yang gembira.

Aku melanjutkan perjalananku lagi. Pergi untuk menjumpai salah seorang kenalan baikku. Ia menjadi salah seorang panitia pembangunan Musholla di kampungnya.
“Assalamu’alaikum, wak, apakabar? Bagaimana pembangunan Mushollanya apakah sudah rampung?” tanyaku setiba di rumahnya.
“Tuh, kamu lihat. Tiang-tiangnya sudah berdiri. Apa kamu mau memberi sumbangan? tanyanya dengan nada bercanda. Agar bangunan Mushollanya cepat selesai?”
“Ah, uwak. Saya ini jarang punya uang. Tapi Alhamdulillah maksud kedatangan saya ke uwak untuk memberikan sedikit rezeki yang saya peroleh.”
“Alhamdulillah, apa itu?” tanyanya ingin tahu.
“Ini wak, uang 25 juta rupiah. Mudah-mudahan uang ini bisa berguna buat penyelesaian bangunan Musholla di kampong sini,” Kataku sambil menyerahkan uang.
“Alhamdulillah…Alhamdulillah…aamiin…aaminn….semoga rezekimu pun semakin bertambah,” sahutnya.
“Aamiinnn….” jawabku juga mengaminkan.
Perasaanku cukup lega. Aku bahagia sekali.

Di kampong itu aku melihat beberapa rumah Gubuk. Ternyata setelah aku bertanya, rumah-rumah itu di huni oleh orang-orang tua. Sebagian sudah jompo dan para janda. Aku sedih dan prihatin sekali melihat keadaan mereka. Dari beberapa rumah yang aku datangi, aku memberikan uang 20 juta rupiah buat mereka. Guna keperluan memperbaiki rumah mereka dan anak-anak yatim yang ada bersama merek. Aku sangat terharu ketika salah seorang ibu menangis haru dan terisak-isak karena suaminya baru saja meninggal dunia.
Saat hendak pulang aku berjumpa dengan seorang temanku yang berkeluh, tidak ada uang buat membayar sewa rumah. Sementara waktu jatuh tempo sudah habis. Ia tidak tahu harus bagaimana. Aku memberikan kepadanya uang 5 juta rupiah buat bayar sewa rumah. Dam memberikn 3 juta rupiah buat modal ia menjalani usaha. Ia berulang kali mengucapkan terima kasih kepadaku.

Sampai di sebuah persimpangan jalan. Tiba-tiba saja ban keretaku bocor. Aku terpaksa mendorongnya mencari tukang tambal ban. Sambil menunggu banku ditempel aku mencari tempat teduh karena hari sangat panas. Aku merasa sedikit lelah dan kehausan. Tiba-tiba saja aku mendengar suara tangisan dari suara seorang wanita. Wanita itu menghampiri suaminya yang tukang tempel ban itu. aku mendengar ia berbicara dengan isak tangisnya.

“Pak anak kita harus segera di bawa berobat. Aku takut pak, sakitnya bertambah parah!” suaminya memandang wajah istrinya sambil menyelesaikan memasang ban keretaku. Nampak ia berbicara pelan kepada istrinya,”Bapak masih belum punya uang Bu untuk membawanya ke rumah sakit,” jawabnya lirih memandang wajah istrinya yang nampak sangat bersedih.
“Berapa pak?” tanyaku kepada si tukang tempel ban setelah ia usai mengisi angin di ban keretaku.
“7000,” katanya pelan bergeser merapikan alat-alatnya.
“Ini, Pak! kataku sambil memberinya sisa uangku. Ambil semua kembaliannya. Bawalah anak bapak berobat ke rumah sakit!”
Laki-laki itu tertunduk, diam memandang wajahku, di pandang wajah istriunya dan aku bergantian.
“Semoga anak bapak dan ibu cepat sembuh!” ucapku lagi kepada sepasang suami istri tukang tempel ban itu. mereka tercenung. Aku segera meninggalkan mereka yang memandangiku.

Akhirnya aku sampai di rumah juga. Aku sangat haus sekali. Tidak ada siapapun di rumah. Pintu rumah tidak terkunci. Aku meneguk segelas air. Rasa hausku hilang. Aku sangat bahagia sekali. Aku membayangkan senyum-senyum di wajah mereka. Aku menarik nafas, ternyata mereka lebih membutuhkan uang itu dari pada aku. Tiba-tiba perut aku berbunyi, aku lapar. Aku membuka lemari makan, apakah ada lauk hari ini. hem…ada sepiring kecil sambal terasi dan nasi putih yang sudah dingin di wadah mangkuk kecil. Aku tersenyum. Berusaha untuk terus bersyukur. J
**
Tok..!! Tok…Tok….!!! Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu tiga kali. Aku bergegas berjalan ke depan pintu. Sambil meletakkan sepiring nasi putih, sambal terasi plus kecap tutup kuning. Mendekat dan membuka pintu yang di ketuk.
Di depanku berdiri seorang laki-laki yang tidak aku kenal. Tubuhnya tinggi, berpakaian rapi. Tersenyum memandangku.
“Dik..! ambillah ini untukmu!” katanya sambil menyerahkan sebuah amplop putih. Aku tercenung melihat wajah orang itu yang tersenyum dengan wajah berseri-seri. Saat aku menundukkan kepala dengan jantung yang berdebar-debar. Lelaki itu pergi meninggalkan aku, terdiam di depan pintu. Laki-laki itu menghilang.

Aku terduduk di kursi. Aku melihat nasi putih sambal terasi yang baru saja sedikit aku makan bercampur kecap. Aku menarik nafas panjang. Melihat amplop putih yang ada di tanganku.
Sreettt….aku merobek amplop itu. Bismillah….
Aku terkejut, terduduk lemas dengan tangan gemetar dan degup jantung yang hebat.
Di dalamnya ada selembar Cek, tulisan angkanya cukup jelas Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
!!!!.....?????? J
By: Syaiful Bahri
Suara Menara Qalbu (SMQ) Saturday, February 07, 2015








Popular posts from this blog

“Kata Sambutan Ngunduh Mantu dari pihak Wanita”

Kata Pembuka dan Sambutan dari Pihak Wanita Saat Menerima Lamaran

“Asal Mula Nama Kue Bohong