“Kopi Tanpa Gula”

Oleh: Syaiful Bahri



Tulisan ini enggak akan bercerita tentang ragam jenis kopi atau rasa kopi,  kerena penulis sendiri tidaklah begitu menyukai minum kopi, hanya sesekali meminumnya. Itu pun terpaksa  karena sudah disediakan atau dibuat tanpa menanyakannya, Apakah penulis mau minum kopi atau tidak? Penulis memilih untuk meminumnya karena menghargai orang yang membuatnya. 

 Menurut sebagian orang  minum kopi itu baik buat mereka. Otak jadi encer plus ngurangin tidur karena mata nyaris dibuatnya menjadi ingin melek terus. Sehingga membuat mereka bisa ngelanjutin aktivitasnya. Semangat mereka menjadi bertambah. Nah, harusnya mereka yang suka minum kopi pada pintar-pintar ya?! Pada kreatif, dan terus aktif. Jadi makin banyak duitnya. Hehe…

Di zaman sekarang, minum kopi menjadi gaya hidup. Ada banyak tempat yang dikhususkan untuk para penikmat minuman yang satu ini.  Ngumpul sama teman atau relasi akan bertambah seru bila sambil menikmati secangkir kopi. Bisnis akan berjalan lancar. Oleh karena itu banyak pemilik kedei yang memodrenisasi tampilan tempat usahanya. Sehingga kedei-kedei kopi ramai dikunjungi untuk berbagai kepentingan. Bukan lagi seperi warung-warung kopi di pinggir jalan. Dari cara membuatnya, menyajikannya sampai meminumnya pun memiliki gayanya sendiri. Jenis kopinya pun kopi pilihan. Jadi enggak sembarang orang juga bisa menikmatinya, karena tentunya dari sisi harga juga pasti berbeda.

Meminum kopi dapat dinikmati oleh semua orang. Enggak pake pandang buluh, apakah ia miskin atau  kaya., tukang becak maupun para pejabat. Anak-anak muda atau para orang tua. Hanya saja tempatnya yang berbeda-beda. Selain itu kualitas kopi dan tempat yang dipilih untuk menikmatinya  tergantung dengan kemampuan duit masing-masing. Namun yang jelas siapapun bisa meminum  dan menikmati secangkir kopi hangat, baik di pagi hari, siang ataupun malam di manapun ia suka.

Meminum kopi juga sudah menjadi kesukaan tetangga penulis. Tak lengkap rasanya kalau hari mendung dan cuaca terasa dingin bila tidak menikmati secangkir kopi. Apa lagi kalau sehabis mengantar penumpang ke tempat tujuannya. Atau sambilan istirahat menunggu calon penumpang dan pelanggan taxi-nya. Ada yang kurang kalau tidak meminum secangkir kopi. Namun karena disebabkan oleh sesuatu hal  kebiasaan itu sering tidak ia lakukan.  Tempat biasa ia mangkal sudah sepi. Penumpang juga menjadi sepi. Pendapatan pun menjadi minim. Hidup pun menjadi sulit. Walaupun ia sudah berusaha untuk mencari pekerjaan dan usaha lain.    Namun masih belum mampu mencukupi kebutuhan dan biaya hidup keluarganya. Ia pun lebih banyak menganggur. Terlebih lagi setelah tak bisa lagi memenuhi setoran taxi-nya.

Kehidupan keluarganya menjadi sedikit berubah. Asap di dapur sesekali mengepul kencang. Sang istri mencoba peruntungan dengan cara  berjualan. Mulai jualan gorengan sampai hamburger. Juga sosis yang ditusuk-tusuk plus roti bakar. Namun semua itu juga butuh modal. Keuntungan yang didapat, bahkan modal yang ada juga menjadi berkurang karena ada banyak mulut yang harus diberi makan. Jadilah tuh, yang namanya jualan kembang kempis.

Miris dan sedih hati penulis mendengar ceritanya. Suatu kali ia bercerita kepada saudara penulis. Katanya ia sedih tidak tahu harus kemana meminta tolong. Di saat ia sedang membutuhkan sejumlah uang buat kebutuhan yang mendesak bagi keluarganya. Pasalnya saudara penulis saat itu sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Istri tetangga penulis ini, kerap datang ke rumah  untuk curhat dan sesekali saudara penulis suka membantu bila ia sedang membutuhkan sesuatu.

Pada saat itu ia sama sekali tidak memiliki uang sepeser pun. Ia mencoba mencari pinjaman kepada saudaranya sendiri. Namun karena gara-gara sejumlah uang yang nilainya tidak sampai 75 ribu rupiah saja. Ia mendapat hinaan dan cercaan dari saudaranya tersebut. Sungguh sedih sekali hatinya saat itu. Begitulah cerita yang penulis dengar dari saudara penulis tentang tetangga yang suaminya suka minum kopi itu.

Begitu juga dilain waktu, ketika ia tidak memiliki uang buat belanja guna mengepulkan asap dapurnya. Suaminya yang masih menganggur tidak memberikan uang belanja kepadanya. Untuk sementara mereka hanya mengharapkan hidup dari jualannya yang hasilnya tidak seberapa. Ketika suatu kali  sepotong Hamburger-nya laku, ia membelikan Bakso untuk keluarganya dan meminta kepada penjual agar memisah bakso dengan kuahnya, dan meminta kuahnya untuk dibanyakkan. Dengan kuah bakso itulah dirinya bersama anak dan keluarganya makan bersama. Tentulah perasaannya sangat sedih. Teringat dikala suaminya yang masih bekerja dan memiliki penghasilan yang berlebih, banyak dari sanak keluarga yang tinggal dan hidup bersamanya. Namun disaat ia sedang jatuh dan tak memiliki apapun semua nyaris melupakannya.

Hati tetangga penulis yang suka minum kopi itu saat ini juga sedang galau. Lantaran rumah tempat ia menyewa selama ini, akan dijual oleh pemiliknya. Sang istri sangat bingung dan sedih tidak tahu harus pindah kemana. Hatinya sudah cukup lama kepincut di rumah sewaannya ini. dirinya sudah merasa nyaman tinggal disitu, walaupun kalau hujan deras tidak luput dari banjir. Ia bingung lantaran tidak bisa berbuat apa-apa ditengah kondisi perekonomian keluarga yang sedang morat-marit.

Sang istri juga pernah bercerita kepada saudara penulis. Ceritanya mengharukan sekaligus menggelitik hati penulis. Ia bercerita, saat itu suaminya sangat ingin sekali minum kopi dan meminta agar dibuatkan secangkir kopi untuknya. Sebagai seorang istri yang baik dan patuh kepada suaminya, ia pun membuatkan secangkir kopi hangat dan memberikannya kepada sang suami.  Sambil tersenyum sang suami menerima kopi buatannya. Tak lama kemudian sang suami pun meminumnya. Namun seketika tampak perubahan di wajah suaminya setelah meminumnya. Disaat itu ada banyak orang yang kebetulan sedang duduk di teras rumahnya.  Manakala sang suami ingin berteriak kepadanya bahwa rasa kopinya pahit. Ia segera membisikkan pelan ditelinga suaminya, “Sudah diam saja. Kita tidak punya gula,” katanya. Sang suami pun terdiam merunduk dengan tatapan mata penuh kesedihan.

Hahhh…!!!  Aku terdiam mendengar cerita itu.  Membayangkan nasib orang-orang seperti mereka. Ada banyak orang yang sama di luar sana. Mungkin nasibnya lebih buruk dari mereka. Mereka yang tak terlihat, yang tak sanggup lagi untuk mengeluh  dan mengadu. Kepahitan dan kesempitan hidup yang terus menerus dirasakan bagi mereka adalah bagai meminum kopi tanpa gula. Itulah yang harus mereka nikmati dan syukuri. Tanpa harus banyak bicara. Hanya kepada Tuhan saja mereka mengadu, karena hanya Tuhan saja yang tahu apa isi hati mereka mestipun mereka tidak bersuara. Karena Tuhan tidak akan menghina dan mencela mereka.

Sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat bagi hamba-hambanya yang meminta pertolongan kepadaNya. J
Baca juga: Menjadi Suami Palsu

Wassalam…….
By: Syaiful Bahri
Suara Menara Qalbu (SMQ)  Senin,5/19/2015


Popular posts from this blog

“Kata Sambutan Ngunduh Mantu dari pihak Wanita”

Kata Pembuka dan Sambutan dari Pihak Wanita Saat Menerima Lamaran

“Asal Mula Nama Kue Bohong