“Ketika Putraku Bersedih”
Terdengar
suara motornya berhenti di depan rumah. Kualihkan perhatianku dan beranjak
membuka pintu yang tertutup. Kupandang wajah lesu penuh lelah. Tidak seperti
biasanya. Ia enggan memasukkan motornya kedalam. Dibiarkannya terparkir didepan
pintu halaman. Walaupun sudah kupinta. Namun ia tidak menjawab. Aku hanya
diam. Memandang wajahnya yang lelah, ada
beban yang sedang ia rasa. Raut wajah sedih tak bisa ia sembunyikan dariku.
Langkah
kakinya menghampiriku. Diciumnya tangan dan pipiku. Tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Ia pun bergegas membuka
sepatu dan menanggalkan baju seragamnya. Tatap mataku mengikuti langkahnya.
Geraknya cepat mengganti bajunya. Dan kembali melangkah didekatku yang tengah
berbaring sembari menyaksikan Damai Indonesiaku spesial Ramadhan di TVOne. Ia
pun merebahkan tubuhnya disampingku.
Terdengar
tarikan nafasnya perlahan. Kupalingkan wajahku memandangnya. Tanpa melihatku,
matanya menatap langit atas rumah. Ia pun mulai bercerita. Berkeluh tentang apa
yang ia rasakan hari ini. Ada kekecewaan, kesedihan, dan nada kemarahan. Aku
pun mendengar dengan sungguh. Sembari tanganku mengusap dan membelai lembut
kepalanya. Rambutnya yang hitam kusapu dengan jari-jariku. Terus kudengar
kesahnya dengan hatiku.
Ia kecewa
dengan teman-temannya. Ia telah berbuat. Ia telah keluarkan tenaga, pikiran dan
uang yang ia miliki untuk membantu temannya. Ia tidak mengharapkan apa-apa.
Tapi tidak ada kata terima kasih dan sungguh upaya yang ia lakukan seakan tak
dihargai. Ia sedih dengan sikap teman-temannya. Ia tulus berupaya untuk
membantu tapi ada nada yang membuatnya marah.
Kulihat
airmatanya mengalir. Hatiku nyaris pilu tapi tetap tersenyum mendengarnya. Aku
kuatkan jiwanya. Menghiburnya dan mendengarnya. Apa yang telah ia lakukan
adalah suatu kebaikan. Dan kebaikan itu pasti akan kembali kepadamu. Aku
yakinkan dirinya. Apa yang ia lakukan sudah benar. Teruslah berbuat baik.
Kubiarkan ia
curahkan rasa hati dan kesedihannya. Sesekali ia sesenggukan dan membalikkan
tubuh. Namun sempat kudengar suara tawa kecilnya saat mendengar guyonan
lucu yang disampaikan sang penceramah
dari TV. Berkali-kali pula aku mengusap punggung dan mengelus pundaknya. Hingga
ia pun terlelap. Aku pun tak jenuh memandang wajahnya. Seakan menatap wajah
bundanya, yang telah lama menjadi bidadari syurga.J J
To My Son:
Habibie Akbar
“Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa izin dan
kehendak Allah SWT”
From: Ayah, 9
Ramadhan 1439 H - 25/05/2018