“Mengapa Aku Harus Ganti Presiden ?”
Oleh: Syaiful Bahri
Berulang kali
aku menunggak membayar SPP sekolah anak. Hingga aku mendapat surat
pemberitahuan dan peringatan. Sayangnya
aku masih juga belum memiliki uang untuk bisa melunasinya. Sampai datang
kembali pesan kepadaku, jika tidak membayar tunggakan SPP, anakku diperkirakan
tak dapat mengikuti ujian. Pikiranku pun
berputar memikirkan nasib sang anak. Bagaimana caranya agar aku bisa
membayarnya?. Sementara pekerjaan yang diharapkan tak kunjung ada. Sambil
mencandai, seorang teman pun berkata, “Memang sekarang ini zamannya kantong
lagi kosong,” Aku hanya bisa tertawa saat seorang teman bermaksud untuk
menghibur, selain aku terus mencari dan berdoa.
Pikiranku
bertambah berat rasanya, sedih mendengar dari rekan dan tetanggaku yang tak mampu lagi
membayar iuran BPJS-nya. Mereka harus
mencari akal guna mendapat berobat gratis ketika jatuh sakit. Tapi aku masih
beruntung ketika kepala ini penat dan berat, aku punya kartu BPJS untuk berobat,
Gratis. Kartu BPJS gratis karena aku termasuk yang mendapat Penerima Iuran
Bantuan (PIB). Kalau tidak tentu akan bertambah berat lagi hidup ini. Itu
merupakan keberuntunganku. Teringat saat dulu seorang teman menawarkan hal itu
kepadaku. Saat orang lain sibuk mengurus untuk menjadi peserta BPJS dan harus
membayar rutin tiap bulannya. Aku mendapat yang gratis. Yah, kategori keluarga
miskin dan tidak mampu. Bagaimana dengan nasib mereka yang tidak
beruntung seperti aku ?
Saat
orang-orang menikmati perjalanannya di
atas kenderaan di jalanan yang mulus. Hampir setiap hari aku melewati jalan
penuh batu dan berlubang. Berdebu jika panas panjang, dan kebanjiran saat turun hujan. Jalanan yang aku lalui seperti
aliran sungai yang membawa batu-batu kerikil turun ke jalanan. Aku harus
pandai-pandai memilih jalan. Menghindari lubang-lubang berlumpur dan bebatuan.
Meninggikan kaki saat kebanjiran dan merasa cemas kalau kereta ( sepeda motor)
mogok di tengah jalan dan terjatuh. Motorku pun semakin tua, tidak bisa lagi
dibawa tour keliling kota, blusukan dan bergaya. Tapi aku tak iri dengan mereka
yang setiap harinya melewati jalan tol dan masuk kota dengan motor dan mobil
mewahnya.
Kerisauanku
sering bertambah jika bepergian. Karena harus lebih banyak mengisi bahan bakar.
Kini semakin sulit mendapatkan BBM bersubsidi. Kalaupun ada, harus bersedia
dalam antrean yang panjang. Katanya BBM bersubsidi hanya untuk golongan ekonomi
kebawah. Tapi masih banyak juga aku melihat mobil mewah yang masuk dalam
antrian. Aku paling banter ngisi sepuluh ribuan. Jatah harian. Bila tak ada
yang bersubsidi terpaksa pandai-pandai cari
jalan untuk tetap sampai tujuan. Pengeluaran pun bisa bertambah, Karena
tiba-tiba saja aku suka dikejutkan dengan harga BBM yang naik. Dan siap-siap
kalau tangki minyak kosong di jalan.
Tiba-tiba
lampu rumahku padam. Suara serak Tok Karni Ilyas yang sedang bicara di acara
ILC-nya pun hilang. Padahal lagi seru aku menyaksikan. Kupikir mati lampu. Eh,
ternyata Tokenku habis tak terdengar
lagi suara Tit...Tit...Tit..., Kok cepat kali pulsanya habis. Entahlah padahal
baru kuisi. Apakah listrik naik lagi harganya?
dengan perasaan kecewa aku terpaksa meraba-raba mencari stok lilin yang
masih ada.
Di saat lelah
dan perut keroncongan, aku sering lupa kalau di lemari penyimpanan sudah tak
ada lagi stock simpanan pangan. Gula habis, minyak makan kering. Tak ada ikan
dan sayuran. Apalagi buah-buahan. Susu menjadi sesuatu yang istimewa. Apalagi
daging. Sementara kantong beras kosong. Wah, apa yang mau di makan hari ini?
Air putih saja tidak cukup buat menambah tenaga. Telur hanya bisa direbus. Itu
pun sisa satu. Syukur Gas masih bisa menyala. Cabai dan bawang sudah habis. Pun
harganya kadang tak ketentuan. Masih kecap yang tersisa. Bagaimana mau sehat dan bisa cerdas kalau begini?? Karena
masih banyak barang kebutuhan yang suka langka dan mahal. Yang murah pun masih
sulit untuk membelinya.
Kadang timbul
rasa sedih, resah dan marah jika agamaku dinistakan. Ajaran agamaku di anggap
sebagai semua dalang kekerasan. Mulai dari pelakunya yang disebut Teroris,
Radikal, Intoleransi sampai Anti Kebhinekaan. Jika kekerasan yang terjadi di
lakukan oleh mereka yang seakidah denganku, gerakannya begitu cepat untuk
memburu dan menangkap mereka. karena dianggap sebagai teroris. Atau mereka yang
membela agamanya dikatakan sebagai kelompok radikal dan intoleransi yang anti
kebhinekaan. Sehingga mereka harus disingkirkan, ditangkap dan dicari-cari
kesalahannya yang kemudian dapat dipenjarakan. Tuduhan-tuduhan yang kadang
tidak adil dan menyudutkan.
Aku pun
sering merasa takut kalau menyuarakan semua ini. Takut disaat aku ingin
mengingatkan. Aku dibilang menyebar ujaran kebencian. Membuat berita palsu atau
HOAX. Sehingga aku terpaksa diam ditengah kemarahan. Aku sangat geram dan ingin
melawan karena merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Ditengah
pencitraan yang terus dilakukan, kesenjangan masih saja terjadi.
Ketika kaki
ini melangkah, mendengar, melihat dan bertanya, semua mengatakan sama, keadaan
sedang sulit. Masih banyak kemiskinan dan Pengangguran. Hingga tidur pun tak
nyenyak lagi ketika alat komunikasi terus berdering, menanyakan kapan cicilan
rumah dibayarkan. Semua berjuang sendiri-sendiri untuk bertahan hidup. Kadang
rela berebut untuk mendapat sekotak nasi buat mengisi perut. Jauh dari apa yang
disebut dengan sejahtera. Mungkin itulah kebahagian disaat masih ada orang yang
mau berbagi. Hanya sekedar untuk menegakkan tulang punggung, dan berharap hari
esok bisa lebih baik lagi.
Jangan
salahkan aku, Kalau Aku Harus Ganti Presiden.
Walau Beda Pilihan, Kita Tetap Bersatu.!!!
J
Suara Menara
Qalbu (SMQ) ; 22 April 2018
By: Syaiful
Bahri