MENGAPA MEROKOK?
Mengapa Seseorang
Merokok?
Faktor-faktor
penyebab merokok dapat dibagi dalam beberapa golongan sekalipun sesungguhnya
factor-faktor itu saling berkaitan satu sama lain.
1.Faktor Genetik
Beberapa
studi menyebutkan factor genetic sebagai penentu dalam timbulnya prilaku
merokok dan bahwa kecendrungan menderita kanker, ekstraversi dan sosok tubuh
piknis, serta tendensi untuk merokok adalah factor yang diwarisi bersama-sama.
Studi menggunakan pasangan kembar membuktikan adanya pengaruh genetic, karena
kembar identik, walaupun dibesarkan terpisah, akan memiliki pola kebiasaan
merokok yang sama bila dibandingkan dengan kembar non-identik. Akan tetapi
secara umum, factor turunan ini kurang berarti bila dibandingkan dengan factor
lingkungan dalam menentukan perilaku merokok yang timbul.
2.Faktor Kepribadian
(Personality)
Banyak
peneliti mencoba menetapkan tipe kepribadian perokok. Tetapi studi statistic
tak dapat memberi perbedaan yang cukup besar antara pribadi orang yang merokok
dan yang tidak. Oleh karena itu, tes-tes tentang kepribadian kurang bermanfaat
dalam memprediksi apakah seseorang akan menjadi perokok. Lebih bermanfaat
adalah pengamatan dan studi observasi di lapangan. Anak sekolah yang merokok
menganggap dirinya, seperti orang lain juga memandang dirinya, sebagai orang
lain juga memandang dirinya, sebagai orang yang kurang sukses dalam pendidikan.
Citra ini kebanyakan benar. Siswa yang merokok sering tertinggal dalam
pelajaran. Mereka juga lebih mungkin untuk drop-out lebih dini dari pada yang
tidak merokok, dan lebih membangkang terhadap disiplin, lebih sering membolos
dan bersikap bebas dalam hal seks. Mereka agaknya bernafsu sekali untuk cepat
berhak seperti orang dewasa. Di perguruan tinggi hal serupa juga teramati.
Mereka biasanya memiliki prestasi akademik kurang, tanpa minat belajar dan
kurang patuh pada otoritas. Asosiasi ini sudah secara konsisten ditemukan sejak
permulaan abad ini. Dibandingkan dengan yang tidak merokok, mereka lebih
impulsive, haus sensasi, gemar menempuh bahaya dan resiko serta berani melawan
penguasa. Mereka minum teh dan kopi dan sering juga menggunakan
obat termasuk alcohol. Mereka lebih mudah bercerai, beralih pekerjaan,
mendapat kecelakaan lalu lintas, dan enggan mengenakan ikat pinggang
keselamatan dalam mobil. Banyak dari perilaku ini sesuai dengan sifat
kepribadian ekstrovert dan anti social yang sudah terbukti berhubungan dengan
kebiasaan merokok.
3.Faktor Sosial
Beberapa
penelitian telah mengungkap adanya pola yang konsisten dalam beberapa factor
social penting. Faktor ini terutama menjadi dominan dalam memengaruhi keputusan
untuk memulai merokok dan hanya menjadi factor sekunder dalam memelihara
kelanjutan kebiasaan merokok. Kelas social, teladan dan izin orang tua serta
kakak-kakak, jenis sekolah, dan usia meninggalkan sekolah menjadi factor yang
kuat, tetapi yang menjadi paling perpengaruh adalah jumlah teman-teman yang
merokok. Di antara anak laki-laki yang menyatakan “tidak ada” temannya yang
merokok, ternyata tidak ditemukan anak yang merokok, dibandingkan dengan jumlah
62 persen perokok di kalangan anak-anak yang menjawab “semua” pada jumlah teman
yang merokok. Ilustrasi lain dari pengaruh social ini ditunjukkan oleh
perubahan dalam pola merokok dikalangan wanita berusia di atas 40 tahun. Bukan
saja jumlah mereka semakin banyak, tetapi mereka merokok lebih berat dan mulai
merokok pada usia yang lebih muda, pola merokok mereka sudah menyerupai pada
laki-laki. Perubahan ini sejalan dengan perubahan peran wanita dan sikap
masyarakat terhadap wanita yang merokok.
4.Faktor Kejiwaan
(Psikodinamik)
Dua
teori yang paling masuk akal adalah bahwa merokok itu adalah bahwa merokok itu
adalah suatu kegiatan kompensasi dari kehilangan kenikmatan oral yang dini atau
adanya suatu rasa rendah diri yang tak nyata. Freud, yang kebetulan juga
pecandu rokok berat, menyebut bahwa pada sebagian anak-anak terdapat
“peningkatan pembangkit kenikmatan di daerah bibir” yang bila berkelanjutan
dalam perkembangannya akan membuat seseorang mau merokok. Ahli lainnya
berpendapat bahwa merokok adalah semacam pemuasan kebutuhan oral yang tidak
dipenuhi semasa bayi. Teori ini ditunjang dengan pengamatan akan adanya
hubungan antara perilaku merokok dengan kebiasaan menggigit kuku, mengunyah
permen karet, dan kebiasaan makan minum yang berlebihan. Kegiatan ini biasanya
dilakukan sebagai pengganti merokok pada mereka yang sedang mencoba berhenti
merokok. Suatu asosiasi telah ditemukan antara kemampuan berhenti merokok
dengan usia mulai disapih. Mereka yang mudah berhenti merokok ternyata disapih
pada usia sekitar 7-8 bulan, sedangkan yang sukar berhenti, dahulu disapih pada
usia sekitar 4, 7 bulan.
5.Faktor Sensorimotorik
Buat
sebagian perokok, kegiatan merokok itu sendirilah yang membentuk kebiasaan
tersebut, bukan efek psikososial atau farmakologinya. Sosok sebungkus rokok,
membukanya, mengambil dan memegang sebatang rokok, menyalakannya, mengisap
(menyedot/inhalasi), mengeluarkan sambil mengamati asap rokok, aroma, rasa dan
juga bunyinya- semua berperan dalam terciptanya kebiasaan ini. Dalam suatu
penelitian ternyata lebih dari 11 persen menganggap asfek-asfek ini penting
buat mereka. Hal ini juga jelas terlihat dalam perilaku seorang pengisap pipa-
yang secara tekun melakukan “upacara” mencabut, membersihkan, mengetuk-ngetuk,
mengisi tembakau, dan akhirnya menyulutnya dengan cara khas pula, walaupun pada
kesudahannya hanya ditutup dengan satu atau dua isapan saja.
6.Faktor Farmakologis
Seorang
yang mengisap sigaret memasukkan atau menyerap sekitar 0,05 hingga 0,15 mg
nikotin pada setiap tarikan atau isapan atau sejumlah 1 hingga 2 mg per batang
rokok. Perokok yang tidak menyedot juga tetap menyerap sedikit nikotin dari
hidung dan mulutnya, terutama pengisap pipa dan cerutu. Semenjak masuknya
tembakau ke Eropa di abad ke -16, pemakaian tembakau silih berganti, dikunyah,
disedot dengan hidung (snuffing) dan diisap; yang pasti tidak ada kelompok
populasi yang berhenti mengunakan tembakau tanpa menggantinya dengan cara lain.
Beberapa studi menunjukkan bahwa nikoton memegang peranan penting dalam
perilaku merokok. Misalnya, bila seorang perokok tidak akan dipuasi, bahkan
mungkin mengalami sindroma penarikan (withdrawal) bila diberikan rokok
bernikotin rendah. Rokok rendah nikotin yang saat ini ada di pasaran ternyata
tidak popular; karena hal yang jelas yaitu kurang nikotin. Dibutuhkan mengisap
sedikitnya 5 batang rokok semacam itu untuk memperoleh kadar nikotin dalam
darah seperti bila merokok jenis yang popular dan biasa diisapnya. Dalam dua percobaan ditemukan bahwa perokok
secara tak sadar mengubah pola merokoknya, dengan mengatur kecepatannya supaya
menjaga asupan nikotin yang cukup. Juga bila mengisap rokok bernikotin tinggi
mereka akan memperlambat jarak mengisapnya dan mempercepatnya bila mengisap
rokok bernikotin rendah. Juga dalam situasi bekerja yang normal, seseorang akan
kurang merokoknya bila memakai merek bernikotin tinggi, tetapi akan lebih
sering merokok bila memakai merek bernikotin rendah.Kadar nikotin dalam
darah sesudah merokok berbeda-beda bagi setiap orang, tetapi bagi setiap
perokok kadar ini mencapat derajat yang hampir selamanya konsisten setiap hari
dan saat-saat yang berbeda dalam satu hari, suatu hal yang membuktikan
ketergantungan bagi perokok untuk menjaga kadar nikotin darahnya. Tetapi dalam
satu studi dibuktikan bahwa sesungguhnya seorang perokok masih dapat
menoleransi dengan mudah bila kadar nikotin itu dikurangi dari 1,4 mg hingga 1
mg.
Melihat adanya hubungan erat dalam
kadar nikotin dan tar dalam sigaret, maka kurang dapat dipastikan apakah
nikotin atau sesuatu dalam tar yang
menentukan timbulnya kebiasaan merokok. Tetapi, melihat fakta di mana rasa
ingin merokok (lapar rokok) dan jumlah konsumsi rokok berkurang dengan pemberian
injeksi nikotin, dan kenyataan bahwa menyedot atau mengunyah tembakau dapat
menggantikan merokok, agaknya nikotinlah yang menjadi biang keladi utamanya.
Dalam percobaan binatangpun, ternyata monyet dan tikus dapat dilatih untuk
memberi dirinya suntikan nikotin, suatu petunjuk bahwa mereka menemukan
kenikmatan dalam tindakan itu. Belum ada bukti positif bahwa komponen tembakau
lainnya seperti CO dan tar memberi kenikmatan seperti itu, walaupun bagi CO
terdapat dampak farmakologis pada tingkatan yang ditemukan pada perokok,
sedangkan tar dalam rokok lebih menentukan pada rasanya rokok itu.
Kita belum mengetahui efek nikotin
mana pada manusia dan binatang yang menimbulkan perasaan puas, atau mana yang
menimbulkan ketergantungan. Nikotin mencapai otak dalam waktu singkat, mungkin
pada menit pertama sejak disedot. Cara kerja bahan ini sangat kompleks. Pada
dosis sama dengan yang di dalam rokok, bahan ini dapat menimbulkan stimulasi
dan rangsangan di satu sisi, tetapi juga relaksasi di sisi lainnya. Efek ini
tergantung bukan hanya pada dosis dan kondisi tubuh seseorang, melainkan juga
pada suasana hati (mood) dan situasi. Oleh karena itu, bila kita sedang marah
atau takut, efeknya adalah menenangkan; tetapi dalam keadaan lelah atau bosan, bahan itu akan merangsang dan memacu
semangat. Dalam pengertian ini, nikotin berfungsi untuk menjaga keseimbangan
mood dalam situasi stress. Akhirnya, juga ditemukan bahwa kemampuan obat-obat
psikoaktif tertentu untuk menimbulkan ketergantungan terletak pada daya kerjanya
pada pusat-pusat tertentu di dalam otak. Aktivitas di daerah itu dipengaruhi
oleh dilepaskannya catecholamine (misalnya noradrenalin), dan seperti kita
ketahui bahwa nikotin dalam dosis merokok normal dapat menyebabkan
dilepaskannya catecholamine pada pusat-pusat tersebut pula.
Sumber Tulisan:
# Buku “Why Rokok?” Tembakau dan Peradaban Manusia,
Penyusun; Dr. Ronald Hutapea SKM Ph.D
hal;123-129.
Penerbit; Bee Media Indonesia,
Jakarta.
Ditulis di
suaramenaraqalbu.blogspot.com oleh: Syaiful Bahri
Untuk berbagi
informasi dan pengetahuan.
Baca Juga :Rindu